Tauhid sebagai filsafat kehidupan


1.      Peran tauhid dalam kehidupan sosial
a.       Ketauhidan (yang murni)
Prinsip ajaran ke Tuhanan dalam Islam adalah terletak pada ketauhidan (peng-Esaan Tuhan yang mutlak).
Tauhid berarti mengikuti dengan sesungguhnya bahwa Allah itu Esa dalam Dza, sifat, dan perbuatan-Nya dan kepada siapa kita beribadah. Tuhan yang mempunyai sifat yang Esa, itulah yang dibawa dan diajarkan oleh para Rasul dan Nabi sejak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an dengan nyata mengakui kesatuan kenabian karena iman kepada Nabi dan Rasul adalah bagian dari akidah Islam.[1]
Formulasi tauhid ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an Surat al-Iklhlas: 1-4
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ  
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
b.      Bidang sosial
Pada asalnya, manusia adalah bertauhid. Dan bertauhid merupakan fitrah yang dikaruniakan Allah untuk manusia. Allah berfirman,
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.”
Potensi manusia yang membedakan derajatnya (akal) adalah alat untuk melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Tetapi tanpa tujuan hidup, prestasinya akan jatuh, sekedar untuk berkembang, makan, minum, tidur dan berkembang biak.
Tujuan hidup (supaya mereka beribadah kepada Allah) dengan bimbingan Rasul-Nya untuk melaksanakan kepetuhan akan kehendak penciptanya untuk mendapatkan keridlaan-Nya.
Isalam adalah agama wahyu. Seluruh ajaran yang dibawanya merupakan wahyu dari Tuhan. Muhammad sebagai Nabi merupakan pribadi yang menerima wahyu dan sebagai Rasul beliau hanyalah penyampai belaka.[2] Sementara filsafat adalah hasil dari kreasi manusia melalui pemikiran rasional dengan bantuan logika.[3]
Ajaran Islam dibidang sosial ini termasuk yang paling menonjol, karena seluruh bidang ajaran Islam pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun khusus bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi tolong-menolong, saling menasihati tentang hak dan  kesabaran, kesetiakawanan, egaliter (kesamaan derajat), tenggang rasa dan kebersamaan. Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, jenis kelamin dan lain sebagainya yang berbau rasialis. Kualitas dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaanya yang ditunjukkan oleh prestasi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia.
Menurut penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar daripada ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek sosial daripada aspek kehidupan ritual. Hal demikian dapat kita lihat misalnya bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan yang penting, maka ibadah  boleh diperpendek atau ditangguhkan (diqhasar atau dijama’ dan bukan ditinggalkan).
Dalam hadist Rasulullah saw mengingatkan imam supaya memperpendak salatnya, bila ditengah jama’ah ada yang sakit, orang sakit, orang lemah, orang tua, atau orang yang mempunyai keperluan. Istri Rasulullah saw Siti Aisyah mengisahkan: Rasulullah saw salat dirumah, dan pintu terkunci, lalu aku datang (dalam riwayat lain aku meminta dibukakan pintu), maka Rasulullah saw berjalan membukakan pintu  kemudia n kembali ke tempat salatnya. Hadis ini diriwayatkan oleh lima orang perawi , kwcuali Ibn Majah.
      Selanjutnya Islam menilai bahwa ibadah yang dilakukan secara berjama’ah atau bersama-bersama dengan orang lain nilainya lebih tinggi daripada salat yang dilakukan secara perorangan, dengan perbandingan 27 derajat.[4]



[1] M. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang: CV. Bima Sejati Semarang, 2006), hal. 40.
[2] Qs an-Nur 24 : 54
[3] Dr maftukhin, m. Ag, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011), hal 9.
[4] H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 88

0 Response to "Tauhid sebagai filsafat kehidupan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel