Fungsi Agama Dalam Masyarakat
Sunday, July 21, 2013
Add Comment
BAB I PENDAHULUAN
Sebelum Islam
datang
ke- Indonesia, kehidupan sosial
dan
budayanya diwarnai oleh kepercayaan polytheisme (percaya pada banyak tuhan). Bahkan sesuatu yang dianggap gaib dan tidak mampu dijangkau oleh
akal mereka, selalu dipercayainya mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa. Sehingga
kehidupannya tidak jauh
dan
selalu diwarnai oleh
hal-hal yang mereka yakini itu. Setelah Islam memasuki kehidupan
masyarakatnya,
meskipun
budaya
dan adat tidak berubah namun budaya dan adat tersebut diwarnai dengan budaya syariat Islam serta
merubah
total kepercayaan terhadap politeisme. Dari sejarah yang telah
dilalui masyarakat Indonesia kita dapat menyimpulkan bahwa betapa
sangat berpengaruhnya agama terhadap kegiatan social kemasyarakatan.
Menurut ilmuwan sosial,
kehidupan
manusia
yang
terbentang sepanjang
sejarah selalu dibayang-bayangi oleh
apa
yang disebut agama. Bahkan, dalam
kehidupan sekarang pun dengan kemajuan teknologi supramodern,
manusia tak luput dari agama. Agama-agama lahir pada babak sejarah pramodern,
sebelum masyarakat dan dunia diwarnai perkembangan pesat ilmu dan teknik.
Peter L. berger
(1969:268)
melukiskan
agama
sebagai suatu
kebutuhan dasar manusia; karena agama merupakan sarana untuk
membela diri terhadap segala kekacauan yang mengancam hidup manusia. Malinowski (1954:17) menyatakan : ”tidak ada
bangsa,
sebagaimanapun
primitifnya, yang tidak memiliki agama dan
magi.”1
Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola prilaku yang diusahakan
oleh suatu masyarakat untuk menangani masalah penting yang tidak dapat oleh teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya. Untuk mengatasi keterbatasan

1 Dadang Agam” (Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002), 142.
2 Ibid., 147.
BAB II
FUNGSI AGAMA DALAM MASYARAKAT
A. PENGERTIAN AGAMA
Berdasarkan sudut pandang kebahasaan (bahasa Indonesia pada umumnya) Agama berasal dari kata sangsakerta yang artinya “tidak kacau”. Agama diambil dari dua suku kata, yaitu a yang berarti tidak, dan gama yang berarti kacau. Hal itu
mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia supaya tidak
kacau. Agama dalam bahasa Inggris bermakna
religion, dan religie dalam dahasa Belanda. Keduanya berasal dari bahasa latin,
religio, dari akar kata religare yang berarti mengikat.3
Dalam bahasa arab, agama dikenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata
al-din sendiri mengandung berbagai arti. Ia dapat diartikan al-mulk (kerajaan), al- khidmad (pelayanan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebijakan), al-adat (kebiasaan),
al-ibadah (pengabdian) dan lain-lain.
Sedangkan
pengertian al-din yang berarti agama
adalah
nama
yang bersifat
umum. Artinya tidak ditujukan kepada salah satu agama; ia adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada di
dunia ini.4
Anthony F.C. Wallace (1966:107) mendifinisikan agama sebagai
seperangkat upacara, yang rasionalitas mitos, dan yang menggerakkan kekuatan
supranatural dengan maksud untuk mencapai atau menghindarkan suatu keadaan
pada manusia atau alam”.5 Definisi ini mengandung suatu pengakuan bahwa kalau
tidak dapat mengatasi masalah serius
yang menimbulkan
kegelisahan, manusia
berusaha mengatasi dengan memanipulasikan makhluk dengan kekuatan

3 Dadang Kahmad M.Si. “Sosiologi, Bandung, 2002), 128.
4 Ibid., 14
5 Ibid., 120
dipandang sebagai gejala agama yang utama atau “agama sebagai perbuatan” ada juga yang mengatakan agama adalah Way of Live (jalan hidup).6
Namun, beberapa ahli
yang mengungkapkan pengertian tentang agama banyak
yang
terpengaruh oleh ajaran
yang
mereka yakini,
sehingga
kadang-
kadang terlatih sangat ekstern dan hanya bisa diterapkan pada agama samawi atau agama-agama yang banyak penganutnya saja.
B. PENGERTRIAN MASYARAKAT
Masayarakat adalah suatu kelompok manusia yang
telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, adat-istiadat yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya. Tatanan kehidupan, norma-norma yang
mereka miliki itulah yang menjadi dasar kehidupan sosial dalam kehidupan mereka, sehingga dapat membentuk suatu kelompok manusia yang memiliki ciri kehidupan yang khas.7
Kehidupan manusia tak terpikirkan di luar masyarakat. Individu-individu tidak
bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya. Manusia membutuhkan satu sama lainnya untuk bertahan hidup dan untuk hidup sebagai
manusia. Kesaling ketergantungan menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang ajek, dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu.
Sebagai makhluk sosial seorang individu
tidak dapat berdiri sendiri,
saling membutuhkan antara satu dengan yang lain, dan saling mengadakan hubungan sosial ditengah-tengah masyarakat. Masyarakat adalah
sekelompok manusia yang saling berinteraksi, yang memiliki prasarana untuk kegiatan tersebut dan adanya
saling keterikatan untuk mencapai tujuan bersama.8
Ketika kita menyendiri, kita bisa menikmati kebebasan dan bisa melepaskan
diri dari ikatan-ikatan sosial.
Tetapi, ketika kita mulai
berhubungan
dengan

6 Ibid., 129
7 H.M Arifin Noor, “Ilmu Sosial Pustaka Setia, Bandung, 1999, h. 85
8 Tom Campbell, “Sosial”, (Kanisius, Jakarta. 1999), h. 215.
norma, hukum dan nilai yang mengikat.
Kita tidak bisa menikmati kebebasan
individual, tetapi terikat berbagai kewajiban moral terhadap individu yang lain.9
Dalam kehidupannya, manusia tidak dapat keluar dari lingkungan sosial yang mengikat, sehingga fakta sosial akan membentuk dan mempengaruhi
kesadaran individu serta pelakunya yang berbeda dari karakteritis, biologis, atau karakteristik individu
lainnya yang
berangkat dari asumsi umum. Lebih lagi karena sosial merupakan fakta yang riil.
Fakta sosial,
sebagai gejala
sosial
mempunyai tiga karakteristik utama.
Pertama, fakta sosial bersifat eksternal terhadap individu. Artinya, fakta social merupakan cara bertindak, berfikir dan berperasaan
yang memperlihatkan
sifat patut dilihat sebagai sesuatu yang berbeda di luar kesadaran yang berbeda. Kedua, fakta sosial itu memaksa individu. Seorang individu dipaksa, diyakinkan,
didorong atau
dipengaruhi oleh berbagai fakta sosial dalam lingkungan
masyarakatnya. Artinya fakta sosial
mempunyai kekuatan memaksa individu melepaskan kemauannya sendiri,
sehinga eksistensi kemauannya terlingkupi oleh semua fakta
sosial.
Ketiga, fakta
sosial
itu bersifat umum atau tersebar
secara bersama, milik semua individu yang
berada dalam lngkungan masyarakat tersebut. Sosial benar-benar kolektif, sehingga pengaruhnya pada individu juga merupakan
hasil dari kolektif ini10
C. AGAMA DAN MASYARAKAT
Agama memberi makna pada kehidupan individu dan kelompok, juga memberi harapan tentang
kelanggengan hidup sesudah
mati. Agama
dapat
menjadi sarana
manusia
untuk
mengangkat diri dari kehidupan
duniawi yang penuh penderitaan, mencapai kemandirian spiritual. Agama memperkuat norma-

9 Kahmad, Sosiologi Agama, h. 15
10 Ibid.
persamaan tujuan serta nilai-nilai yang menjadi landasan keseimbangan masyarakat.
Kemampuan agama untuk terus bertahan terhadap rasionalisme barat menunjukkan bahwa agama merupakan kekuatan dinamis yang
besar dalam mayarakat. Meskipun
tidak
pada
tempatnya
untuk menyatakan sesuatu
tentang
kebenaran metafisis suyatu agama tertentu.11
Fungsi utama
agama adalah untuk
mengurangi kegelisahan, memantapkan
kepercayaan kepada diri
sendiri dan yang terpenting adalah memelihara keadaan manusia agar tetap siap menghadapai realitas. Namun, ada
juga yang mengatakan
bahwa fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi
persoalan-persoalan
yang timbul di masyarakat
yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena
adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan
agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil
dan sebagainya.12
Fungsi utama
agama adalah untuk
mengurangi kegelisahan, memantapkan kepercayaan pada diri sendiri dan
yang paling penting adalah memelihara keadaan manusia agar
tetap siap menghadapi
masyarakat. Dengan demikian,
agama berperan dalam tiga kawasan kehidupan manusia, yaitu, pertama, kawasan yang kebutuhan manusiawi dapat dipenuhi
dengan kekuatan manusia
sendiri,
kedua, kawasan di
mana manusia merasa aman secara moral, tata pergaulan dan tongkah laku manusia diatur lewat norma-norma rasional agama. Dan
ketiga, kawasan
dimana manusia secara
totalmengalami ketidak mampuan, uasaha manusia mengalami titik putus yang tidak dapat dilaluinya.
Emile Durkhem, sosiolig prancis (1961), menyinmpulkan bahwa tujuan utama agama dalam masyarakat primitive adalah membantu orang berhuibungan bukan dengan Tuhannya, melainkan dengan sesamanya,. Ritul-ritual religius membantu orang untuk mengembangkan rasa sepaguyuban
(sense of community), misalnya

11 Kahmad “Sosiologi Agam”, 120
12 Ibid, h. 130
kematian; dan bersama-sama merayakan musim tanam, dan panen. Hal
itu mempersatukan kelompok dengan cara kontraksi religius.
Durkhem (1950) yang
telaahnya terfokus pada unsure-unsur social yang menghasilkan solidaritas melihat agama sebagai factor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat. “Agama merupakan suatu system interpretasi diri kolektif. Dengan kata lain, agama adalah system symbol dimana masyarakat bias menjadi sadar akan dirinya: ia adalah cara berfikir tentang eksistensi kolektif”. (Durkheim,
1950:135). Agama tidak lain adalah proyeksi masyarakat sendiri dalam kesadaran
manusia. Selama masyarakat masih berlangsung, agma pun akan tetap lestari. Masyarakat,
bagaimanapun, akan tetap menghasilkan
symbol-simbol
pengertian diri kolektifnya; dan dengan demikian, menciptakan agama.
Mayarakat diikat oleh system symbol yang umum. System symbol itu
akan berpusat pada martabat manusia sebagai pribadi, kesejahteraan umum, dan norma- norma etik yang selaras dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Setiap
masyarakat akan mmenciptakan agamnya sendiri. Setiap masyarakat akan menghayati cita-citanya yang tertinggi akan menumbuhkan kebaktian pada representasi diri simboliknya, tak ada masyarakat yang
tak merasa perlu
menegaskan dan meneguhkan,
pda selang waktu tertentu, perasaan dan gagasan kolektifnya yang menciptakan kesatuan dan kepribadiannya (Durkheim
1965;475).
Kerap kali durkheim dikritik karena ia melihat agama sebagai ideology yang melegitimisasikan tatanan social. Krtitik seperti itu kurang tepat. Sebab, bagi Durkheim, agama mengekspresikan nilai-nilai terdalam yang ada dalam tatanan
social. Mengenang
saat-saat
yang berarti dalam
sejarah dan memproyeksiakan gambaran
simbolik mengenai masa depan asyarakat. Agama pada saat tertentu
bisa berfungsi menjadi
pelindung
tatanan
social,
dan pada
saat lainnya bisa menilai kondisi social saat sekarang dengan mengacu pada gambaran maasyarakat
ideal dan, dengan demikian, menmbuhkan gerakan pembaharuan.
Padangan Durkheim trsebut tercermin pula dalam teori Robert N. Bellah (1985:12) mengenai Civil Religion. Dalam pengamatanya
di amerika ada gejala yang disebutnya Civil Religion, suatu konsep yang brasal dari Rousseau, seperti
tampak dalam dokumen berdirinya amerika serikat, upacara-upacara dalam
penerimaan jabatan-jabataban
kenegaraan, dan hari-hari pesta yang meperingati peristiwa-peristiwa yang penting di amerika. Menurut bellah civil religion adalah
‘subordinasi’
bangsa pada
prinsip-prinsip etis yang mengatasi pada prinsip
itu sendiri; atas dasar prinsip itu, bangsa dinilai. Bellah menolak anggapan bahwa
yang dimaksud dengan Civil
Religion adalah idoligi yang memberi legitimasi cara hidup bangsa amerika; bukan pula suatu pemujaan diri suatu bangsa
Kalau durkheim mencari integrasi masyarakat yang di temukan dalam agama, maka Max Weber memusatkan perhatianya pada masalah bagaimana masyarakat itu berubah dan
mengalami kemajuan. Ia
mendapatkan agama sebagai factor perubahan
social. menurut T. parsons
(dalam Roberston
1998:56), perhatian utmanya adalah
agama sebagai sumber struktur masyarakat. Weber tidak memberikan definisi
mengenai agama. Tetapi,
dari tulisannya dapat
di ketahui bahwa bagi weber, agama diberikan kerangka pada makna dunia dan prilaku manusia. Suatu persepektif ketika berusaha memahami dunia, ruangan dimana ia ada, wasktu mengatur hidupnya
dan masa
depanya,
termasuk kematiannya, manusia menelaah
gama dari segi
dampaknya terhadap masyarakat. Dalam kerangka weber, agama ada sangkut pautnya dalam penciptaan budaya.
Ketika mengungkap hubungan interdependensi antara
agama dan masyarakat, Wach menunjukan adanya pengaruh timbal-balik antara kedua
faktor tersebut. Pertama, pengaruh agama terhadap masyarakat, seperti yang
terlihat dalam
pembentukan, pengembangan dan penentuan kelompok keagamaan spesifik yang baru. Kedua, pengaruh masyarakat terhadap agama. Dalam hal ini, Wach memusatkan perhatiannya terhadap faktor-faktor sosial yang memberikan nuansa dan keragaman perasaan sikap keagamaan yang tedapat dalam suatu lingkungan
atau kelompok tertentu.13

13 Ibid, 54.
sesuai dengan
nilai-nilai
kebudayaan dan ajaran
agamanya.14 Ketika pengaruh ajaran agama sangat kuat terhadap sistem nilai dari
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, maka nilai kebudayaan itu
terwujud sebagai simbol suci yang maknanya bersumber dari ajaran agama yang menbjadi kerangka acuannya.
Dalam agama Islam, tujuan hidup manusia bukan hanya mencari keselamatan material (Dunia) saja, akan
tetapi keselamatan hidup spiritual (Akhirat). Seorang muslim harus
menjalin
hubungan dengan
Allah
dalam kepatuhan, disamping
hubungan secara harmonis terhadap sesama manusia.15 Tidak hanya agama Islam,
namun semua
agama
samawi
pun mengajarkan tentang tatacara berkehidupan dalam masyarakat,
sehingga apa yang dilakukan oleh setiap
masyarakat
selalu didasari oleh ajaran agama. Dalam keadaan demikian, secara langsung etos yang menjadi pedoman dari
eksistensi dan
kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat, dipengaruhi,
digerakkan, dan diarahkan
oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah agama yang dianutnya, dan
terwujud dalam kegiatan masyarakat sebagai tindakan yang diselimuti oleh symbol-simbol suci.
Bahkan Drs Adnan dalam bukunya
Islam Sosialis
menjelaskan, “Islam sebagai agama wahyu merupakan kerangka acuan
paripurna untuk
seluruh aspek kehidupan bagi setiap muslim. Pada dasarnya setiap muslim yang memahami al- Quran
dan al-Sunnah dengan tepat
dan benar,
meyakini bahwa
kedua sumber
tersebut memberikan skema kehidupan yang
sangat jelas, maka masyarakat yang harus dibangun oleh setiap muslim adalah masyarakat yang tunduk pada kehendak
Ilahi”.16
Lebih khusus lagi dapat dirumuskan dalam pernyataan berikut : “Jika satu bagian dalam masyarakat itu berubah, maka bagian lain mereoganisasi agar timbul keseimbangan
dalam
masyarakat.
Dan jika lingkungan sosial berubah, maka
agama mengadakan penyesuaianatau atau bahkan sebaliknya”17

14 Adnan, Islam, Semarang. Cet. 1 2003.
15 Siti Maryam Islam”, Lesfi, Jogjakarta, 2004, h, 9.
16 Adnan, Islam Sosialis”,
34
17 Khamad, Op.Cit., h. 68
Agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan
menuju keselamatan persatuan dan
persaudaraan, namun pada waktu yang
lain
menampakkan dirinya sebagai
sesuatu
yang
dianggap
garang
dan penyebar
konflik, bahkan
tak jarang
menimbulkan
peperangan,
seperti tercatat dalam sejarah.
Paling tidak, ada
dua pendekatan untuk sampai pada pemahaman terhadap agama. Pertama, agama dipahami sebagai suatu doktrin dan ajaran, dan kedua, dipahami sebagai aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah.18
Sehingga
doktrin suatu agama
dianggap paling
benar
oleh para pengikutnya dengan menafikan doktrin dan ajaran agama lain.
Bicara tentang agama memerlukan suatu
sikap ekstra hati-hati,
karena
meskipun masalah agama merupakan masalah sosial, tetapi
penghayatanya
bersifat individual. Apa yang dihayati dan dipahami sebagai agama oleh
seseorang, sangat bergantung
pada latar belakang dan kepribadiannya.
Hal ini membuat adanya perbedaan tekanan penghayatan dari satu orang kepada orang
lain, dan membuat agama menjadi bagian yang amat mendalam dari kepribadian
atau privacy seseorang. Oleh karena itu,
agama senantiasa bersangkutan dengan kepekaan emosional. Meskipun demikian, masih terdapat kemungkinan untuk membicarakan agama sebagai suatu umum dan obyektif.
Doktrin agama dimulai dari keyakinan terhadap adanya Tuhan sebagai sumber nilai
dan
aturan untuk
menata kehidupan
umat
manusia.
Kepercayaan dan

18 Kahmad , Op.Cit.
untuk menyesuaikan seluruh perilaku kesehariannya berdasarkan doktrin yang
ia yakini.19 Dengan demikian, di dalam mewujudkan perilaku kehidupanya, seorang penganut agama harus
dapat merefleksikan hubungan baik dengan Tuhan dalam bentuk ketaatan melaksanakan ritual dan memenuhi kewajiban yang diperintahkan
oleh agamanya. Di
sisi lain, ketaatan pada ajaran agama juga harus terefleksikan
pada kebaikan perilaku atau sikap pribadi orang tersebut pada sesama manusia
dan bahkan terhadap alam sekelilingnya.
Adnan, dalam bukunya “Islam Sosialis” mengemukakan bahwa pemikiran sosialis religius dibangun atas dasar keyakinan agama atau aqidah Islam.20 Hal ini memberi komitmen bahwa manusia tidak saja terbatas pada hubungan horizontal saja, namun juga
mencakup hubungan dengan Tuhanya. Dimana dalam setiap perbuatanya, manusia harus didasarkan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan ini memberikan visi kepada manusia untuk membentuk
suatu
masyarakat yang
mengejar nilai-nilai utama dalam agama.
Dalam bukunya Filsafat pendidikan Islam, Jalaludin dan Usman Said menjelaskan bahwa dalam
upaya membentuk
kepribadian individu seorang
muslim haruslah berpedoman pada ajaran al-Quran dan
al-Hadits.21 Kalaulah individu merupakan unsur
terkecil
suatu masyarakat,
maka
tentunya
semua kegiatan dan perbuatan masyarakat Islam akan berdasarkan
al-Quran dan
al-

19 Fauzan Saleh, Asror Kesalehan Individu dan Sosial untuk Kesejahteraan yang Humanis”,: Ircisod Pers, Jogjakarta, 2005 Hlm. 45
20 Adnan, Islam Rasail, Semarang. Cet. 1 2003. h.125
21 Jalaludin dan Pendidikan Islam : Konsep Dan Perkembangan Pemikirannya”, (Raja
Grapindo Persada, Jakarta, Cet II, 1996), 93
BAB III KESIMPULAN
Dari penjelasan di
atas, kita dapat menarik garis benang merah (kesimpulan), yaitu :
Pertama, fungsi pokok agama dalam masyarakat ialah memberi makna pada kehidupan individu dan kelompok, memberi harapan tentang kelanggengan hidup sesudah mati. untuk mengurangi kegelisahan, memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri dan yang terpenting adalah memelihara keadaan manusia agar tetap
siap menghadapai
realitas serta berperan dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat
yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena
adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
Kedua, interelasi (hubungan) antara
agama dan masyarakat,
sebagai sistem keyakinan agama bisa menjadi bagian dan inti dari sistem nilai yang ada dalam
kebudayaan masyarakat, dan menjadi pendorong atau
penggerak serta pengontrol bagi tindakan anggota
masyarakat tertentu
untuk selalu berjalan
sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan
ajaran agamanya. Lebih singkatnya, dapat dirumuskan dalam pernyataan berikut :
“Jika satu bagian dalam masyarakat itu berubah, maka bagian lain mereoganisasi agar timbul keseimbangan dalam masyarakat. Dan jika lingkungan sosial berubah, maka
agama
mengadakan penyesuaianatau atau bahkan sebaliknya
0 Response to "Fungsi Agama Dalam Masyarakat"
Post a Comment