MENGENAL BERBAGAI MACAM TEORI KRITIS
Thursday, July 18, 2013
Add Comment
MENGENAL BERBAGAI MACAM
TEORI KRITIS
I.
PENDAHULUAN
Filsafat dan ilmu pengetahuan (khususnya ilmu-ilmu sosial
dan filsafat sosial) memang bisa ditapak dengan jelas keikutsertaannya menjadi
penerang dan pemberi alternatif (petunjuk-petunjuk skolastik) sejalan dengan
perkembangan masyarakat pasca revolusi industri dan revolusi Perancis itu..
Sejarah ilmu pengetahuan telah mencatatkan bahwa para teoritisi telah melompati
pagar skolastik mereka (ekspansif) akibat kemajuan filsafat ilmu itu sendiri
menuju panggilan moral keilmuan itu sendiri. Mereka dan teori-teorinya menjadi
sokoguru dan jadi “steering committee” bagi proyek-proyek “rekayasa” sosial
yang didesain oleh aparat birokrasi atau suprastruktur kekuasaan dengan
intervensi dari dalam terhadap prinsip-prinsip ideologis partai-partai yang
menggerakkan aparat dan suprastruktur itu.
Salah satu efek bumerang terhadap modernisme (atau juga
liberalisme) adalah patologi modernisme yang bergerak secara psikoanalis dan
linear dalam dunia kehidupan sosial. Teori-teori sosial menyisihkan aib
modernisme ini dalam perspektif-perspektifnya karena secara metodologis dan
teoritis tidak pernah dianalisis dalam konteks sejarah sosial (social history).
Masing-masing teori sosial mengembangkan perspektif, demikian pula
metode-metodenya, menurut haluannya sendiri. Pengembangan mereka masing-masing
sesungguhnya tidak saling mematahkan, pun juga tidak saling mendukung. Namun
teori-teori sosial tersebut dengan segala pernik-perniknya tetap bungkam
berhadapan dengan realitas-realitas sosial yang tengah dikurubuti patologi
modernisme; sebagai akibat diintegrasikannya sistem dengan dunia kehidupan
sosial dalam kerangka teoritis dan metodisnya.
Maka mau tidak mau sebuah cara berfikir yang teoritispun
dibutuhkan dalam menghadapi kemajuan-kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Yang dalam setiap zaman dan massany telah berevolusi dari berbagai macam aliran
cara berfikir teoritis.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Pengertian Teori kritis
B.
Tujuan dan Karakteristik Teori
Kritis
C.
Macam-macam Teori Kritis
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Teori Kritis
Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer
pada tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti pemaknaan kembali
gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan dengan nalar dan kebebasan.
Pemaknaan ini dilakukan dengan mengungkap deviasi dari gagasan-gagasan ideal
tersebut dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan
institusi politik borjuis.
Untuk memahami pendekatan teori kritis, tidak bisa tidak,
harus menempatkannya dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl
Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi
besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia
dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan
filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx menjadikan
filsafat sebagai sesuatu yang praktis; yakni menjadikannya sebagai cara
berpikir (kerangka pikir) masyarakat dalam mewujudkan idealitasnya. Dengan
menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme
historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan
nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan.
Dan dapat diartikan sebagai teori yang menggunakan metode
reflektif dengan melakukan kritik secara terus-menerus terhadap tatanan atau
institusi sosial, politik atau ekonomiyang ada. Teori kritis menolak
skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan
demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan
interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang
secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan
penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis
mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris
tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks
kekinian.
B.
Tujuan dan Karakteristik
Teori Kritis
Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan
mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode
reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau
institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif
bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.[1]
Ciri khas Teori Kritis
tidak lain ialah bahwa teori ini tidak sama dengan pemikiran filsafat
dan sosiologi
tradisional. Singkatnya, pendekatan teori ini tidak bersifat kontemplatif
atau spektulatif murni. Pada
titik tertentu, ia memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx,
sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Selain itu,
tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata
realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah.
Pada dasarnya, esensi Teori Kritis
adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan
struktur-stuktur sosial
dan politik
sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara
alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik.
C.
Macam-macam Teori Kritis
1. Marxisme
`Marxisme dianggap sebagai dasar pemikiran dari
semua teori-teori yang ada dalam tradisi kritis. Marxiesme ( dengan M besar)
berasal dari pemikiran Karl Marx, seorang ahli filsafat, sosiologi dan ekonomi
dan Friedrich Engels, sahabatna. Marxisme beranggapan bahwa sarana produksi
dalam masyarakat bersifat terbatas. Ekonomi adalah basis seuruh kehidupan
sosial. Saat ini, kehidupan sosial dikuasai oleh kelompok kapitalis, atau
sistem ekonomi yang ada saat ini adalah sistem ekonomi kapitalis.
Dalam masyarakat yang
menerapkan sistem ekonomi kapitalis, profit merupakan faktor yang mendorong
proses produksi, dan menekan buruh atau kelas pekerja. Hanya dengan perlawanan
terhadap kelas dominan (pemilik kapital) dan menguasai alat-alat produksi, kaum
pekerja dapat memperoleh kebebasan. Teori Marxist klasik ini dinamakan ’The
Critique of Political Economy’ (kritik terhadap Ekonomi Politik).
Marx ingin membangun suatu
filsafat praxis yang benar-benar dapat menghasilkan kesadran untuk merubah
realitas, pada saat Marx hidup, yakni masyarakat kapitalis berkelas dan
bercirikan penghisapan. Teori Marx meletakkan filsafat dalam konteks yang
historis, sosiologis dan ekonomis. Teori Marx bukan sekedar analisa terhadap
masyarakat. Teori Marx tidak bicara eonomi semata tetapi ”usahanya untuk membuka
pembebasan manusia dari penindasan kekuatan-kekutan ekonomis”.
Menurut Marx, dalam sistem
ekonomi kapitalis yang mengutamakan profit, masing-masing kapitalis beruang
mati-matian untuk mengeruk untuk sebanyak mungkin. Jalan paling langsung untuk
mencapai sasaran itu adalah dengan penghisapan kerja kaum pekerja. Namun kaum pekerja
lama-lama memiliki kesadaran kelas dan melawan kaum kapitalis.
Yang akan terjadi menurut ramalan Marx
adalah penghisapan ekonomi dengan cara penciptaan kebutuhan-kebutuhan
artifisial (palsu) lewat kepandaian teknologi kaum kapitalis. Oleh karena itu
kaum kapitalis monopolis ditandai dengan kemajuan teknologi yang luar biasa.
Dengan difasilitasi teknologi, tidak lagi terjadi penghisapan pekerja oleh
majikan di sebuah perusahaan, tetapi penghisapan ekonomi ”si miskin” oleh ”si
kaya” di luar jam kerja, di luar institusi ekonomi. Kapitalisme dapat menimbun
untung karena nilai yang diberikan oleh tenaga kerja secara gratis, di luar
waktu yang sebenarnya diperlukan untuk memproduksi suatu pekerjaan, Inilah
salah satu kritik ekonomi politik kapitalisme Marx.
2.
Frankfurt School
Frankfurt School atau
Sekolah Frankfurt merupakan aliran atau mazhab yang secara sederhana sering
dipahami sebagai ”aliran kritis”. Teori-teori kritis banyak dikembangkan oleh
akademisi dengan meninggalkan ajaran asli Marxisme, namun perlawanan terhadap
dominasi dan penindasan tetap menjadi ciri khas. Teori-teori kritis ini sering
disebut neo marxist (amarxisme baru) atau marxist (denan m kecil).
Farnkfurt School berasal
dari pemikiran sekelompok ilmuwan German di bidang filsafat, sosiologi dan
ekonomi yang tergabung ”the Institute for Sosial Research” yang didirikan di
Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Anggota-anggotanya antara lain : Max
Horkheimer, Theodor Adorno dan Hebert Macuse.
Frankfurt School diilhami
ajaran Karl Marx, namun sekaligus melampui dan meninggalkan ajaran Marx secara
baru dan kreatif. Cara pemikiran Sekolah Frankfurt mereka sebut sendiri sebagai
”Teori Kritik Masyarakat”. Teori Kritis memandang diri sebagai pewaris
cita-cita Karl Marx, sebagai teori yang emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya
menjelaskan tetapi mengubah pemberangusan manusia.
Maksud teori itu adalah
membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern. (Sindhunata,
1983 : xiii). Teori Kritik Masyarakat pada hakekatnya mau menjadi ”Aufklarung”.
Aufklarung berarti : mau membuat cerah, mau mengungkap segala tabir yang
menutup tabir, yang menutup kenyataan yang tak manusiawi terhadap kesadaran
kita. Teori Kritik Masyarakat mengungkapkan apa yang dirasakan oleh kelas-kelas
tertindas, sehingga kelas-kelas ini menyadari ketertindasannya dan memberontak.
Dalam Frankfurt School
dikeal nama Jurgen Habermas, murid termasyhur Theodor W. Adorno, yang
membaharui Teori Kritis secara fundamental. Pokok pembaharuannya tersebut
adalah :
1.
Bila ajaran Marx
menganggap basik seluruh kehidupan adalah ekonomi dan bekerja adalah aktivitas
pokok manusia, maka menurut Habermas pekerjaan hanya salah satu tindakan dasar
manusia saja.
2.
Di samping pekerjaan masih
terdapat tindakan yang sama dasariah, yaitu interaksi atau komunikasi
antarmanusia,
Dalam konteks kedua ini
kemudian nama Jurgen Habermas menjadi sangat terkenal di kalangan akademisi
komunikasi. Menurut Habermas penidasan tidak dapat bersifat total, tetapi masih
ada tempat di mana manusia dapat mengalami ide kebebasan, sehingga selalu masih
ada tempat berpijak untuk menentang penindasan. Tempat itu adalah komunikasi.
Temuan Habermas bahwa
komunikasi adalah ”tempat ide kebebasan” dijelaskan Suseno sebagai berikut :
”Habermas memperlihatkan
bahwa komunikasi tidak mungkin tanpa adanya kebebasan, Kita dapat saja dipaksa
atau didesak untuk mengatakan ini atau itu, tetapi kita tak pernah dapat
dipaksa untuk mengerti. Manangkap maksud orang lain pun tak pernah dapat
dipaksakan. Begitu pula orang tak dapat dipaksa menyadari suatu kebenaran,
untuk menyetujui suatu pendapat dalam hati, atau untuk mencinta seseorang.
Dalam pengalaman komunikasi sudah tertanam pengalaman kebebasan”. (Sindhunata,
1983 : xxiii).
3.
Postmodernisme
Postmodernisme adalah
paham yang menolak bahwa proyek pencerahan yang dijanjikan moderenitas. Menurut
penganut posmodernisme, modernitas yang ditandai dengan munculnya masyarakat
industri dan banyaknya informasi telah memanipulasi berbagai hal termasuk
pengetahuan. Beberapa tokoh postmodernisme adalah :
1.
Jean Fracois Lyotard, berpendapat
bahwa postmodernime menolak janji besar modernisme, bahwa modernisme membawa
kemauan masyarakat.
2.
Jean Baurillard, berpendapat
bahwa dalam modernisme, realitas dan cerita tdak dapat dibedakan. Maka budaya
dalam masyarakat modern tidak dapat dipercaya karena merupakan realitas
artifisal atau realitas palsu. Misal : dengan kemauan teknologi, lukisan asli
tidak dapat dibedakan dengan lukisan pasu. Bahkan kadang yang palsu lebih bagus
dari yang asli.
Postsrukturalis
: adalah
salah satu cabang postmodernisme yang secara khusus menolak makna-makna tanda
yang sudah terstruktur dalam pola pikir masyarakat. Setiap orang bebas menafsirkan
makna tanda yang ditemui. Roland
Barthes tentang semiotika adalah salah satu contoh.
Postkolonialisme : juga merupakan salah satu anak
cabang postmodernisme, tetapi yang secara khusus mempelajari budaya-budaya yang
ada saat ini sebagai akibat proses penjajahan masa lalu.[2]
4.
Kajian Budaya
Teori-teori dalam Kajian
Budaya berminat dalam mempelajari budaya-budaya yang terpinggirkan oleh
ideologi-ideologi dominan yang hidup pada sebuah budaya. Fokus Kajian Budaya
adalah perubahan sosial, yaitu munculnya atau diakuinya budaya-budaya yang
termarginalkan tersebut. Ini yang membedakan dengan Frankfur School yang
melawan dominasi untuk merebut kekuasaan dalam masyarakat. ”Arena bermain”
Kajian Budaya antara lain : ras, gender, usia.
Kajian Budaya merupakan
sebuah bidang studi interdisipliner. Kajian Budaya diakui sebagai bidang studi
secara resmi, ditandai dengan munculnya ”the Centre for Contempory Cultural
Studies” di Birmingham, Inggris tahun 1964.
Salah satu teori atau
konsep baru postmodern khususnya postkolonialisme dan juga dapat dikategorikan sebagai
kajian Budaya adalah : Teori Identitas Budaya yang dibuat Stuart Hall. Teori
ini menolak identitas Afrika (orang-orang kulit hitam) seperti yang diberikan
oleh Eropa (orang-orang kulit putih).
Setidaknya ada 2 cara yang
berbeda untu berpikir tentang ”identitas budaya” :
1.
Cara pertama
mendefinisikan ”identitas budaya” sebagai suatu kesatuan, sebuah kumpulan
tentang kebenaran seseorang, menyembunyikan atau menonjolkan sesuatu tentang
diri kita dimana usur sejarah bersatu di masa sekarang. Dengan definisi ini
identitas budaya kita merefesikan pengalaman sejarah dan kode-kode budaya
memiliki andil dalam membentuk kita menjadi ”seseorang:, dengan krangka yang
stabil, tidak berubah dan tetap tentang refernsi dan makna.
2.
Cara kedua yang disusun
Stuart Hall untuk melihat identitas budaya adalah melihat beberapa kesamaan
sekaligus perbedaan yang membentuk siapa diri kita sekaligus perbedaan yang
membentuk ”siapa diri kita sesungguhnya”, dibandingkan ”ita telah menjadi apa”.
Idenitas budaya dalam cara pandang kedua ini adalah masalah akan menjadi apa
ita kelak dan siapa kita sekarang. Identitas budaya menjadi bagian dari masa
depan juga masa lalu. Identitas budaya datang dari suatu tempat, meiliki
sejarah, secara konstan beruaha. Identitas budaya adalah permainan dari
sejarah, budaya dan kekuasaan. Identitas adalah nama yang kita berikan kepada
kita dengan cara berbeda dimana kita diposisikan dan posisi dimana kita berada
di masa lalu.[3]
Teori Stuart Hall menyusun
teori yang menghasilkan konsep baru atau definisi baru berdasarkan pemahaman
tentang karakter traumatik pengalaman penjajahan. Cara dimana orang-orang kulit
putih hitam diposisikan dan diperlakukan dalam rezim dominan kulit putih, yang
memiliki dampak pada kekuatan budaya. Oang kulit hitam dikonstrusikan sebagai
kelompok yang berbeda dalam rezim barat.
5.
Feminisme
Studi feminisme adalah
label ”generik” bagi studi yang menggali makna penjenis kelaminan (gender)
dalam masyarakat. Perumus-perumus teori feminisme mengamati bahwa banyak aspek
dalam kehidupan memiliki makna gender. Gender adalah konstrusi sosial yang
meskipun bermanfaat, tetapi telah didominasi oleh bias laki-laki dan merugikan
wanita. Teori Feminisme bertujuan untuk terjadina kesetaraan antara laki-laki
dan wanita di dunia.
Salah satu teori
feminisme, khususnya teori komunikasi feminisme adalah tentang Representasi
yang disusun oleh Rakow dan Wackwitz. Rakow dan Wackwitz
meneliti penggunaan-penggunaan bahasa yang digunakan beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1.
Siapa dipilih untuk
berbicara atau memutuskan sesuatu adalah merupakan pertanyaan politis, yang
menempatkan dimana posisi perempuan dan dimana laki-laki.
2.
Siapa berbicara untuk
siapa, atau suara siapa, yang dimuculkan dalam teks.
3.
Satu bagian untuk
mengungkapkan keseluruhan atau berbicara sebagai bagian dari kelompok.
4.
Siapa dapat berbiara dan
merepresentasikan siapa?
5.
Pemilihan penulis dan
penerbit media.
Dalam kaitan dengan 5
pertanyaan di atas, penelitian Claire Johnson tentang film sejak 1970
menyimpulkan bahwa ”perempuan ditampilkan sebagaimana dikehendaki oleh
laki-laki”, dan Mary Ann Doane’s seorang analis film hollywood mengatakan bahwa
”perempuan harus ditampilkan dalam sudut pandang perempuan, keinginan perempuan
dan kegiatan perempuan”.
Salah satu teori feminisme
itu adalah muted group theory, yang dirintis oleh antropolog Edwin Ardener
dan Shirley Ardener. Melalui pengamatan yang mendalam, tampaklah oleh
Ardener bahwa bahasa dari suatu budaya memiliki bias laki-laki yang melekat di
dalamya, yaitu bahwa laki-laki menciptakan makna bagi suatu kelompok, dan bahwa
suara perempuan ditindas atau dibugkam. Perempuan yang dibungkam ini, dalam
pengamatan Ardener, membawa kepada ketidakmampuan perempuan untuk dengan
lantang mengekspresikan dirinya dalam dunia yang didominasi laki-laki.
Teori komunikasi feminisme
Cheris Kramarae memperluas dan melengkapi teori bungkam ini dengan
pemikiran dan penelitian mengenai perempuan dan komunikasi. Dia mengemukakan
asumsi-asumsi dasar dari teori ini sebagai berikut :
1.
Perempuan menanggapi dunia
secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang
berakar pada pembagian kerja.
2.
Karena dominasi politiknya,
sistem persepsi laki-laki menjadi dominan, menghambat ekspresi bebas bagi
pemikiran alternatif perempuan.
3.
Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat,
perempuan harus menguah perspektif mereka ke dalam sistem ekspresi yang dapat
diterima laki-laki.
Kramarae mengemukakan
sejumlah hipotesis mengenai perempuan berdasarkan beberapa temuan penelitian :
1.
Perempuan lebih banyak
mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dibanding laki-laki. Ekspresi perempuan
biasanya kekurangan kata untuk pengalaman yang feminim, karena laki-laki yang
tidak berbagi pengalaman tersebut, tidak mengembangkan istilah-istilah yang
memadai.
2.
Perempuan lebih mudah
memahami makna laki-laki daripada laki-laki memahami makna perempuan. Bukti
dari asumsi ini dapat dilihat pada berbagai hal : Laki-laki cenderung menjaga
jarak dari ekspresi perempuan karena mereka tidak memahami ekspresi tersebut,
perempuan lebih sering menjadi obyek dari pengalaman daripada laki-laki,
laki-laki dapat menekan perempuan dan merasionalkan tindakan tersebut dengan
dasar bahwa perempuan tidak cukup rasional atau jelas. Jadi perempuan harus
mempelajari sistem komunikasi laki-laki, sebaliknya laki-aki mengisolasi
dirinyadari sistem perempuan.
3.
Hipotesis ke-3 ini membawa
pada asumsi yang ketiga, perempuan telah menciptakan cara-cara ekspresinya
sendri di luar sistem lak-laki dominan misalnya : diary, surat,
kelompok-kelompok penyadaran dan bentuk-bentuk seni alternatif.
4.
Perempuan cenderung untuk
mengekpresikan lebih banyak ketidakpuasan tentang komunikasi dibanding
laki-laki. Perempuan mungkin akan berbicara lebih banyak mengenai persoalan
mereka dalam menggunakan bahasa atau kesukarannya untuk menggunakan perangkat
komunikasi laki-laki.
5.
Perempuan seringkali
berusaha untuk mengubah aturan-aturan komunikasi yang dominan dalam rangka
menghindari atau menentang aturan-aturan konvensional.
6.
Secara tradisional
perempuan kurang menghasilkan kata-kata baru yang populer di masyarakat luas,
konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki kontribusi terhadap
bahasa.
7.
Perempuan memiliki
konsepsi huloris yang berbeda daripada laki-laki. Karena perempuan memiliki metode
konseptualisasi dan ekspresi yang berbeda, sesuatu yang tampak lucu bagi
laki-laki menjadi sama sekali tidak lucu bagi perempuan.
IV.
KESIMPILAN
Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan
antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan
ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim
normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang
secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan
penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis
mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris
tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks
kekinian.
Dalam perkembangannya, terdapat banyak tokoh dengan
karakteristik pola teori kritis yang berbeda-beda, yang masing-masing
dipengaruhi oleh keadaan zamannya seperti yang telah di jelaskan di atas.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat
kami sampaikan, dan kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan, meski
demikian kami harap makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, amin. .
.
DAFTAR PUSTAKA
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Bryan Turner. 2008. Teori-Teori
Sosiologi: Modernitas-Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Habermas, Jurgen. 1990. Ilmu dan Teknologi
sebagai Ideologi. (terjemahan Hassan Basari). Jakarta: LP3ES
[1] Bryan
Turner. 2008. Teori-Teori Sosiologi: Modernitas-Posmodernitas. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,hal.229.
[2] Habermas, Jurgen. 1990. Ilmu dan
Teknologi sebagai Ideologi. (terjemahan Hassan Basari). Jakarta: LP3ES
[3] Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. 2005.
Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 104
0 Response to "MENGENAL BERBAGAI MACAM TEORI KRITIS"
Post a Comment