EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-GHOZALI
Friday, August 16, 2013
Add Comment
EPISTEMOLOGI FILSAFAT
AL-GHOZALI
Tidaklah berlebihan
ketika Nicholson menyampaikan angan-angannya bahwa seandainya ada seorang nabi
setelah Muhammad, maka Al-Ghozali-lah orangnya (R.A Nicholson,1976), pernyataan
ini meskipun tak sepenuhnya dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu
sifat seorang nabi itu adalah cinta akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka
keterlibatan Al-Ghozali dalam hampir semua diskursus keilmuan, seperti; ilmu
kalam, filsafat, dan tasawuf, cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan
untuk menguatkan pernyataan tersebut . Sebab, dengan alasan serupa yang membuat
Al-Ghozali tak pernah lepas dari pertimbangan siapapun yang berusaha memahami
Agama Islam secara luas dan mendalam (Nurcholis Madjid, 1996).
Kendati demikian,
ibarat kata pepatah tiada gading yang tak retak, kebesaran reputasi Al Ghozali
itu bukan tanpa cacat. Justru keterlibatannya dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu
keislaman tersebut dipandang oleh sebagian pengamat sejarah sebagai salah satu
faktor penyebab hilangnya rasionalisme, yang pada gilirannya nanti menjadi
faktor penting bagi kemunduran dunia Islam. Misalnya, pertama, usahanya dalam
mempertahankan afiliasi kalamnya (Asy’ariah) sebagai ideologi resmi penguasa
Abbasyiah, paling tidak semakin menambah kebencian umat Islam terhadap aliran
Mu’tazilah, kalau bukan justru menegasikan sama sekali terhadap aliran teologi
Islam yang rasionalis tersebut, sehingga semangat rasional yang terdapat
didalamnya dengan sendirinya juga ditinggalkan oleh umat Islam. Kedua, magnum
opusnya dibidang filsafat, Tahafut al Falasifah, sering dipahami oleh beberapa
pengamat sebagai penyebab hilangnya rasionalisme di dunia Islam, sehingga
meskipun perlahan tapi pasti, Islam berangsur-angsur mulai mengalami
kemunduran. Ketiga, dua penilaian diatas semakin lengkap dengan lahirnya karya
sensasional Al-Ghozali dibidang sufisme, Ihya’ Ulum Al-Din, yang pada
kenyataannya memang telah menjadi teman akrab umat Islam dalam melaksanakan
praktek-praktek romantisme dengan Tuhan melalui pemberdayaan rasa (Dzauq) dan
bukan nalar (akal). Dari sudut pandang ini, bila rasio itu memang dapat
dipahami sebagai salah satu kunci kejayaan Islam, maka tak mengherankan bila
ada beberapa pengamat seringkali melekatkan nama Al-Ghozali dengan kemunduran dunia
Islam.
Walaupun begitu,
terlepas dari penilaian kontroversial terhadap hujjatul Islam tersebut, yang
pasti dia telah ikut aktif dalam mengisi lembaran sejarah umat ini. Karya-karya
besar yang diciptakannya dalam berbagai diskursus ke-Islaman merupakan bukti
penting bahwa Al-Ghozali, baik dalam kapasitasnya sebagai teolog , filosof,
mapun seorang sufi. Sebab jangan-jangan kemunduran dunia Islam itu bukan
semata-mata disebabkan olehnya, tetapi justru dikarenakan umat Islam sendiri
yang terlalu fanatik terhadap Al-Ghozali, sehingga yang diwarisi bukan bangunan
epistemologinya dan semangat pencariannya akan kebenaran yang hakiki, tetapi
sekedar produk pemikirannya secara taken for granterd .
Sekilas tentang
Epistemologi
Sebagai derivasi dari
kata Yunani Episteme: pengetahuan dan logos: ilmu, maka secara sederhana
epistemologi dapat dimaknai dengan teori pengetahuan. Epistemologi, sebagai
ditegaskan Amin Abdullah, sedikitnya membahas tiga persoalan mendasar; pertama,
sumber pengetahuan; dari mana dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang
benar. Kedua, sifat pengetahuan ;apakah segala sesuatu itu bersifat fenomenal
(tampak) ataukah essensial (hakiki)?. Ketiga, validitas (kebenaran) suatu
pengetahuan; bagaimana pengetahuan yang benar dan yang salah dapat dibedakan.
Sedikitnya ada dua
paradigma pemikiran dalam menjawab persoalan epistemlogi tersebut. Pertama,
idealisme atau nasionalisme menitikberatkan pada pentingnya peranan ide,
kategori atau bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu
pengetahuan. Plato ( 427-347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme
ini, menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan
pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah (Amin
Abdullah;1996). Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya.
Karena itu suatu ilmu pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh,
maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak
berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam
yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu
sebagai “alam ide”, suatu alam dimana manusia sebelum ia lahir telah
mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia dapat
mengenal dan memahami segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang
tinggal mengingat kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala
sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan alam
inderawi bukanlah alam sesungguhnya.
Paradigma selanjutnya
adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti penting
pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan
(Harold H. Titus dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM) yang boleh dikata sebagai
bapak empirisme ini, dengan tegas tidak mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan
oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai
melalui proses panjang pengalaman empirik manusia. (Amin Abdullah;1996).
Dalam paradigma
empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang paling
absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio
tidak memiliki arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam
kerangka empirisme (Harun Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di sini
hanyalah mengikuti eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk
memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak dapat
dipersepsi (Ali Abdul Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John Locke berpendapat
bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula (kertas
putih). Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil pengamatan
Indrawinya (Louis O. Katsof;1995).
Epistemologi Filsafat
Al-Ghazali
Al-Ghazali, seperti
telah disinggung sekilas di atas, sering secara tidak adil dituduh sebagai
biang keladi kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi
dalam ‘tradisional’ Asy’ariahnya dibanding aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan
terutama karena serangan terhadap filsafat melalui kitabnya, Tahafut
al-Falasifah,serta keberpihakannya terhadap tasawuf yang lebih mengutamakan
olah rasa daripada nalar sebagai satu-satunya jalan yang paling absah menuju
kebenaran hakiki.
Dengan pola pemahaman
yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali memang memberikan kesan seperti
itu, namun dalam telaah yang lebih luas dan mendalam, Al-Ghazali bukanlah
penyebab kemunduran dunia Islam. Orang telah lupa bahwa sesungguhnya Asy’ariah
seringkali dinilai sebagai suatu bentuk aliran teologi yang bersifat tradisional,
bukan berarti dia menafikan akal atau penalaran dalam berbagai pemahamannya.
Sedangkan terkait dengan serangannya terhadap filsafat, kalau kita mengetahui
sisi filsafat mana yang diserangnya , maka akan kita dapati bahwa tuduhan di
atas sangatlah tidak mendasar. Sebab, Al-Ghazali bukannya menyerang keseluruhan
bangunan filsafat, tetapi hanya bagian metafisikanya saja. Itupun, yang
diserangnya bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada kesalahan struktur
argumentasi para filosof.
Kecuali itu, apabila kita
lihat apa yang mendorong Al-Ghazali mempelajari falsafah dan kemudian menulis
bukunya, Maqodis Al Falasifah dan Tahafut Al Falasifah, maka kita dapati bahwa
adanya aliran dan madhab dalam Islam serta pengakuannya masing-masing bahwa
pendapatnyalah yang paling benar sedangkan pendapat lain yang salah inilah yang
memotivasi Al-Ghazali semenjak muda senantiasa mencari kebenaran yang hakiki.
(Harun Nasution, 1996).
Yang dimaksud
Al-Ghazali dengan kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya;
tak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Demikian tegas Al-Ghazali :
Jika kuketahui bahwa
sepuluh adalah lebih banyak dari tiga, lantas ada orang yang mengatakan
sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah menjadi ular dan hal itu memang
terjadi, bahwa memang kusaksikan sendiri, maka kejadian itu tidak akan
membuatku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari
tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal itu
sekali-kali tidak akan pernah membuat aku bimbang terhadap pengetahuanku”.
(Al-Ghazali, 1961).
Itulah bentuk kebenaran
hakiki sebagai suatu hasil pengetahuan yang meyakinkan, yang oleh Al-Ghazali
keyakinan itu disimbolkan sampai ke tingkat yang sangat matematis, sehingga ia
tidak akan tergoyahkan lagi oleh bentuk intimidasi apapun. (Dzurkani Jahja,
1996).
Seseorang, demikian
Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan
tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan
pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat
dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan
rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan itu tetap dilakukan secara hierarkis,
bukan dalam rangka melahirkan sintesa diantar keduanya.
Terhadap hasil
pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :
“Tentang hal ini aku
ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya,
penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau
misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat
ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat
bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan
bahwa bintang lebih besar daripada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan
contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa hukum-hukum
inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat
disangkal lagi”. (Al-Ghazali,1961).
Dari pernyatan tersebut
jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada
hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan
yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap
atau berubah-ubah.
Kredibilitas akal,
karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang
sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya,
jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang
sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi
ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya
terjadi.” (Al-Ghazali,1961).
Sampai di sini,
dikarenakan kebenaran hakiki yang dicari-carinya belum juga ketemu, akhirnya
Al-Ghazali dihinggapi oleh sikap skeptis, suatu keadaan dimana hujjatul Islam
ini didera oleh keadaan yang luar biasa, sehingga ia tidak mampu lagi untuk
mengingat pengetahuan-pengetahuan yang pernah diperolehnya, bahkan untuk sekedar
berbicarapun ia tak mampu. Masa-masa kritis bagi pengembangan pengetahuannya
ini berlangsung selama dua bulan hingga ia menemukan kesadarannya kembali.
Dengan dipenuhi segala rasa aman dan yakin, Al-Ghazali akhirnya dapat menerima
pengertian aksiomatis (awalli) dari akal.
“Mungkin tidak ada yang
dapat dipercaya selain pengertian-pengertian aksiomatis (pengetahuan yang
bersifat asasi), seperti pengertian bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; atau
bahwa negasi dan
afirmasi tidak akan dapat berkumpul dalam satu perkara; tidak ada yang baru dan
pada saat yang sama ia juga dahulu; tidak ada sesuatu yang ada dan pada saat
itu juga ia tidak ada; atau sesuatu yang bersifat pasti dan ia juga bersifat
mustahil pada saat yang sama.” (Al-Ghazali, 1961). “……dengan perasaan sama dan
yakin ia dapat menerima kembali segala pengertian aksiomatis dari akal. Semua
itu tidak terjadi dengan mengatur alasan ataupun menyusun penjelasan, tetapi
dengan nur yang dipancarkan Allah kedalam batinku……kita hendaklah mencari
sekuat tenaga apa yang harus dicari sampai pada sesuatu yang tidak usah kita
cari lagi, karena ia memang sudah ada. Kalau kita mencari terus sesuatu yang
telah ada niscaya ia akan menjadi samar dan membingungkan.” (Al-Ghazali, 1961).
Dengan berbekal
keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba meneliti kebenaran hakiki yang
ditawarkan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama
pengembaraannya didunia ilmu kalam, batiniyah ataupun filsafat tidak ada yang
didapatnya kecuali hanya pengetahuan-pengetahuan yang akan mengantarnya kepada
kebenaran yang masih menimbulkan keraguan-keraguan dan pertanyaan-pertanyaan
baru.
Akhirnya hanya di jalan
sufisme-lah, Al-Ghazali mulai mendapatkan jalan terang menuju pengetahuan
tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya selama ini, yakni
dibukakannya rahasia ke-Tuhanan dan aturan-aturan tentang segala yang ada,
sehingga tampaklah secara langsung Al-Ghazali sesuatu yang tidak pernah dilihat
oleh mata ataupun tidak pernah terdengar oleh telinga.
“……Apa yang dikatakan
orang tentang suatu jalan yang dimulai dengan membersihkan hati, sebagai syarat
pertama, mengosongkan sama sekali dari segala sesuatu selain Allah, dan kunci
pintunya laksana takbirotul ihrom dalam sholat ialah tenggelamnya hati dalam
dzikir kepada Allah dan akhirnya fana sama sekali dengan-Nya……Diawal perjalan
ini dimulailah peristiwa-peristiwa mukasyafah (terbukanya rahasia-rahasia) dan
musyahadah (penyaksian langsung)……”(Al-Ghazali, 1961).
Pengetahuan terakhir
inilah yang Al-Ghazali disebut dengan Al-Kasyf, yang merupakan puncak dari
bangunan epistomologis. Hanya melalui Al-Kasyf inilah seseorang akan mencapai
hakikat pengetahuan yang kokoh, karena apa yang diperolehnya melalui jalan
kasyf ini sekali-kali tidak akan pernah membuatnya bimbang ataupun ragu, sebab
pengetahuan ini dilahirkan dari suatu sikap (tingkah laku dan pemahaman yang
selalu diterangi oleh cahaya kenabian).
Catatan Akhir
Dari sekilas uraian
tentang epistemologis Al-Ghazali diatas, agaknya pengaruh paradigma
rasionalisme dan empirisme memiliki ruang yang cukup luas dalam bangunan
epistemologis hujjatul Islam tersebut, walaupun akhirnya ia sendiri tetap
menempatkan secara hierarkis kedua paradigma pengetahuan Yunani itu, dari yang
paling bawah empirisme, menyusul rasionalisme, dan akhirnya kasyf sebagai
puncak tangga epistemologinya.
Berbeda halnya dengan
Al-Ghazali, Imanuel Kant (1724-1804), meskipun ia juga melakukan beberapa
kritik terhadap sikap eksklusif dari kedua arus pemikiran (empirisme dan
rasionalisme) yang bersifat antagonis tersebut, Kant mampu memberikan
perspektif baru dalam kajian epistemologinya, sehingga melahirkan filsafat ilmu
(philosophy of science) yang sangat mempunyai arti penting bagi lahirnya ilmu
pengetahuan yang multi dimensional di Barat dewasa ini.
Sementara kajian
epistemologi dalam literatur Barat terus berkembang, didunia Islam sendiri,
khususnya yang berbasis massa Sunni, kecenderungan arah epistemologinya justeru
beringsut lebih tajam kepada batas wilayah idealisme dan kasyf, serta tidak
peduli lagi dengan masukan-masukan yang diberikan oleh empirisme, sehingga
semangat kritis dan pluralisme yang tersimpan dibalik paradigma empirisme
tersebut tidak terwarisi masyarakat muslim. Sebaliknya mereka justru
mendapatkan watak idealisme yang monistik. Karena itu, tidak berlebihan kesan
yang ditangkap Amin Abdullah dari implikasi paradigma epistemologi yang seperti
itu membuat alam pemikiran muslim menjadi terlalu rigid, puritan dan dikotomis
dalam memecahkan masalah.
0 Response to "EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-GHOZALI"
Post a Comment