ILMU QIRAAT AL-QURAN
Wednesday, July 17, 2013
Add Comment
I.
PENDAHALUAN
Menurut salah satu cabang dalam Ulumul Qur’an yakni Qira’at
Al-Qur’an tidak lepas dengan apa yang disebut Sab’ah (tujuh huruf). Dalam satu
riwayat, Nabi SAW bersabda “Sesungguhnya Islam ini telah diturunkan dalam tujuh
huruf, maka bacalah olehmu mana yang mudah dari padanya”.
Qira’at Al-Qur’an, khususnya qira’at Sab’ah sering
dimaknai dan dikorelasikan identik dengan “tujuh huruf” tetapi pendapat ini
tidak kuat. Meski demikian, istilah “tujuh huruf” merupakan salah satu sebab
munculnya multiple reading (banyak
bacaan) Al-Qur’an.[1]
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Pengertian
Qira’at Al-Qur’an
B.
Sumber
Perbedaan Qira’at, Macam-Macam Qira’at
C.
Fungsi
Qira’at dan Pengaruh dalam istimbat Hukum
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Qira’at Al-Qur’an
Secara
estimilogi kata qira’ah berarti
“bacaan” dari kata qara’a-yaqra’u-qira’atan.[2]
Secara
terminologi, qira’at adalah salah
satu aliran dalam pelafalan atau pengucapan Al-Qur’an oleh salah seorang Imam qurra’
yang berbeda dengan yang lainnya. Dalam hal ucapan Al-Qur’an serta disepakati
riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun
lafadznya. Secara praktis, Qira’at disandarkan kepada salah satu Imam qurra’ yang
tujuh, sepuluh, dan empat belas.[3]
Qira’at
sebagai salah satu sistem bacaan menjadi sangat vital bagi para pembacanya,
terlebih lagi Al-Qur’an merupakan sumber pokok rujukan dalam segala hal bagi
pemeluk agama Islam. Teks wahyu yang diturunkan dalam bentuk lisan, diajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW dalam cara yang sama, meski tetap ada usaha dalam bentuk
penulisan teks Al-Qur’an tersebut. Tetapi, dalam praktek dominan metode ajar
secara lisan tetap menjadi metode utama hingga saat ini. Itulah mengapa dalam
sejarahnya, Al-Qur’an banyak mengalami ragam cara baca, sesuai dengan dialek
Arab yang ada pada saat itu.
B.
Sumber
Perbedaan Qira’at, Macam-Macam Qira’at
Diantara
sebab-sebab munculnya beberapa qira’at yang berbeda sebagai berikut:
1) Perbedaan
Qira’at Nabi. Artinya, dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya, Nabi
memakai beberapa versi qira’at.
2) Pengakuan
dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin waktu
itu. Hal ini mengaku dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di
dalam Al-Qur’an.
3) Adanya
riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
4) Adanya
Lahjah atau dialek kebahasaan dikalangan bangsa Arab pada masa turunnya
Al-Qur’an.[4]
Macam-macam
Qira’at
1. Dari
Segi Kuantitas
a. Qira’ah
Sa’bah (Qira’at tujuh)
Maksud Sa’bah adalah
imam-imam qira’at yang tujuh, mereka adalah:
1) Abdullah
bin Katsir Ad-Dari (wafat 120 H) dari Mekkah. Ad-dari berasal dari generasi
At-Tabi’in. qira’ah yang ia riwayatkan diperoleh dari Abdullah bin Zubair dan
lain-lain.
2) Nafi’
bin Abdurrahman bin Abu Na’im (wafat 169 H) dari Madinah. Tokoh ini belajar qira’ah
dari 70 orang Tai’in.
3) Abdullah
Al-Yashibi terkenal dengan sebutan Abu Amir Ad-Dimasyqi (wafat 118 H) dari
Syam. Ia mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syaibah Al-Mahzumi.
4) Abu
Amar (wafat 154 H) dari Bsrah, Irak. Ia meriwayatkan Qira’at dari Mujahid bin
Jabr.
5) Ya’qub
(wafat 205 H) dari Basrah, Irak. Ya’qub belajar qira’at pada Salam bin Sulaiman
Al-Thawil yang mengambil qira’at dari ‘Ashim dan Abu Amar.
6) Hamzah
(wafat 188 H) Hamzah belajar qira’at pada Sulaiman bin Mahram Al-A’masy, dari
Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubasyi, dari Ustman bin Affan, ‘Ali bin
Thalib dan Mas’ud.
7) Ashim
(wafat 127 H). Ia belajar qira’at dari Dzar bin Hubaisy, dan Abdullah bin
Mas’ud.
b. Qira’at
Asyarah (Qira’at sepuluh). Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah qira’at tujuh
yang telah disebutkan diatas ditambah tiga Qira’at berikut:
1) Abu
Ja’far, memperoleh qira’at dari Abdullah bin Ayyasy bin Rabi’ah, Abdullah bin
Abbsa, dan Abu Hurairah. Mereka berdua memperolehnya dari Ubay bin Ka’ab,
sedangkan Ubay memperolehnya langsung dari Nabi.
2) Ya’qub
bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Bashri. Ia
memperoleh qira’at dari banyak orang yang sanadnya bertemu pada Abu Musa
Al-Asy’ari dan Ibn Abbas, yang membaca langsung dari Rasulullah SAW
3) Abu
Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzaz Al-Baghdad. Ia menerima qira’at
dari Sulaiman bin Isa’ bin Habib.
c. Qira’at
Arba’at Asyrah (Qira’at empat belas). Yang dimaksud qira’at empat belas adalah
Qira’at sepuluh diatas ditambah dengan
empat qira’at dibawah ini:
1) Al-Hasan
Al-Bashri (wafat 110 H). Salah seorang Tabi’in besar yang terkenal
kezahidannya.
2) Muhammad
bin Abdirrahman (wafat 123 H). Ia adalah guru Abi ‘ Amr
3) Yahya
bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi (wafat 202 H). Ia mengambil qira’at
dari Abi ‘Amr dan Hamzah.
4) Abu
Al-Fajr Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz (wafat 388 H).[5]
2. Dari Segi Kualitas
Berdasarkan penelitian
Al-Jazari, berdasarkan kualitas, qira’at dapat dikelompokkan dalam lima bagian:
a. Qira’at
Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir
sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qira’at yang
ada masuk kedalam bagian ini.
b. Qira’at
Mansyur, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas
Mutawatir, sesuai kaidah bahasa Arab dan tulisan Mushaf “Ustmani, Mansyur
dikalangan Qurra’. Dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan
Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’at yang keliru dan menyimpang.
c. Qira’at
Ahad, yakni memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf ‘Ustmani dan
kaidah bahasa Arab, ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
d. Qira’at
Syadz (menyimpang), yakni yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang
ditulis untuk jenis Qira’at ini.
e. Qira’at
Maudhu’ (palsu), seperti qira’at Al-Khazzani, Ash-Suyuthi kemudian menambah qira’at
yang keenam.
f. Qira’at
yang menyerupai Hadits Mudraj (sisipan), yakni adanya sisipan pada bacaan
dengan tujuan penafsiran.[6]
C.
Fungsi
Qira’at dan Pengaruh dalam Istinbat Hukum
Perbedaan-perbedaan
qira’at terkadang berpengaruh pula
dalam menetapkan ketentuan hukum. Contoh berikut ini dapat memperlihatkan
pengaruh itu:
a. Surat
Al-Baqarah [2]: 222:
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah
kotoran’. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada waktu
haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka bersuci. Apabila
mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri. ” (QS. Al-Baqarah:222)
Berkaitan dengan ayat
diatas, di antara imam qira’at tujuh,
yaitu Abu Bakar Syu’bah (qira’at ‘Ashim
riwayat Syau’bah), Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca kata “yuthhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka,
bunyinya menjadi “yuthtahhirna”.
Berdasarkan perbedaan diatas qira’at
ini, para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca “yuthhurna” berpendapat bahwa seseorang
suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali
telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yuthtahhirna” menafsirkan bahwa
seseorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali
telah bersih.
b. Surat
An-Nisa’ [4]: 43:
Artinya:
“Dan jika sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang
air kecil atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat
air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS.
An-Nisa:43)
Berkaitan dengan ayat
ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa’i memendekkan huruf lam pada kata “lamastum”,
sementara imam-imam lainnya memanjangkan. Bertolak dari perbedaan qira’at ini, terdapat tiga versi
pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh, dan
saling bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qira’at
itu pula, para ulama fiqih ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki
dan perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada yang berpendapat bahwa bersentuhan
itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau berhubungan badan.
c. Surat
Al-Maidah [5]:6:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. ” (QS. Al-Maidah:6)
Berkaitan dengan ayat
ini, Nafi’, ibn ‘Amir, Hafs, dan Al-Kisa’i membacanya dengan “arjulukum”, sementara imam-imam yang
lain membacanya dengan “arjulikum”.
Dengan membaca “arjulukum”, mayoritas
ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membedakan dengan
menyapunya. Pendapat ini mereka perkuat dengan beberapa hadis. Ulama Syi’ah
Imamiyah berpegang pada bacaan “arjulikum”
sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki dalam wudhu’. Pendapat yang sama
diriwayatkan juga dari Ibn ‘Abbas dan Anas Malik.[7]
IV.
KESIMPULAN
Qira’at adalah salah satu aliran dalam pelafalan
atau pengucapan Al-Qur’an oleh sala seorang imam qurra’ yang berbeda dengan
yang lainnya. Qira’at dibagi dalam beberapa macam yang dibagi dalam segi
kualitas dan kuantitas. Ada beberapa perbedaan didalam Qira’atul Qur’an, karena
berbedanya sumber-sumber dari para mujtahid. Namun bacaan yang paling tepat
yaitu bacaannya Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan sumber Qira’atul Qur’an.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat. Kami menyadari
didalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan baik pada segi penulisan
maupun minimnya buku referensi. Untuk itu, pemakalah mengharapkan kritik dan
saran untuk kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin...
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Ulumul
Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia. 2008
Al A’zami, M. M,
Sejarah Teks Al-Qur’an,
Jakarta: Gema Insani Press. 2005
Akaha, Abduh Zulfikar, Al-Qur’an dan Qira’ah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1996
Chirzin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1998
Marzuki, Kamaludin, Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Rosdakarya. 1992
[1] M. M. Al A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, dari wahyu sampai
kompilasi terjemahan. Sohirin DKK. Jakarta: Gema Insani Press. 2005, hlm. 73
[2] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa. 1998, hlm. 85
[3] Abduh Zulfikar Akaha, Al-Qur’an dan Qira’ah, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar. 1996, hlm, 194
[4] Dr. Rosihan Anwar, M.Ag, Ulumul Al-Qur’an, Bandung: Pustaka
Setia, hlm. 148-149
[5] Kamaludin Marzuki, Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Rosdakarya.
Hlm 104-105
[6] Dr. Rosihan Anwar, M.Ag, Op. Cit
Hlm. 151-154
[7] Ibid. Hlm 157-159
0 Response to "ILMU QIRAAT AL-QURAN"
Post a Comment