ILMU QIRAAT AL-QURAN

       I.            PENDAHALUAN
Menurut salah satu cabang dalam Ulumul Qur’an yakni Qira’at Al-Qur’an tidak lepas dengan apa yang disebut Sab’ah (tujuh huruf). Dalam satu riwayat, Nabi SAW bersabda “Sesungguhnya Islam ini telah diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah olehmu mana yang mudah dari padanya”.
Qira’at Al-Qur’an, khususnya qira’at Sab’ah sering dimaknai dan dikorelasikan identik dengan “tujuh huruf” tetapi pendapat ini tidak kuat. Meski demikian, istilah “tujuh huruf” merupakan salah satu sebab munculnya multiple reading (banyak bacaan) Al-Qur’an.[1]

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Qira’at Al-Qur’an
B.     Sumber Perbedaan Qira’at, Macam-Macam Qira’at
C.    Fungsi Qira’at dan Pengaruh dalam istimbat Hukum

 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qira’at Al-Qur’an
Secara estimilogi kata qira’ah berarti “bacaan” dari kata qara’a-yaqra’u-qira’atan.[2]
Secara terminologi, qira’at adalah salah satu aliran dalam pelafalan atau pengucapan Al-Qur’an oleh salah seorang Imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya. Dalam hal ucapan Al-Qur’an serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun lafadznya. Secara praktis, Qira’at disandarkan kepada salah satu Imam qurra’ yang tujuh, sepuluh, dan empat belas.[3]
Qira’at sebagai salah satu sistem bacaan menjadi sangat vital bagi para pembacanya, terlebih lagi Al-Qur’an merupakan sumber pokok rujukan dalam segala hal bagi pemeluk agama Islam. Teks wahyu yang diturunkan dalam bentuk lisan, diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam cara yang sama, meski tetap ada usaha dalam bentuk penulisan teks Al-Qur’an tersebut. Tetapi, dalam praktek dominan metode ajar secara lisan tetap menjadi metode utama hingga saat ini. Itulah mengapa dalam sejarahnya, Al-Qur’an banyak mengalami ragam cara baca, sesuai dengan dialek Arab yang ada pada saat itu.

B.     Sumber Perbedaan Qira’at, Macam-Macam Qira’at
Diantara sebab-sebab munculnya beberapa qira’at yang berbeda sebagai berikut:
1)      Perbedaan Qira’at Nabi. Artinya, dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qira’at.
2)      Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin waktu itu. Hal ini mengaku dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam Al-Qur’an.
3)      Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
4)      Adanya Lahjah atau dialek kebahasaan dikalangan bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an.[4]
Macam-macam Qira’at
1.      Dari Segi Kuantitas
a.       Qira’ah Sa’bah (Qira’at tujuh)
Maksud Sa’bah adalah imam-imam qira’at yang tujuh, mereka adalah:
1)      Abdullah bin Katsir Ad-Dari (wafat 120 H) dari Mekkah. Ad-dari berasal dari generasi At-Tabi’in. qira’ah yang ia riwayatkan diperoleh dari Abdullah bin Zubair dan lain-lain.
2)      Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Na’im (wafat 169 H) dari Madinah. Tokoh ini belajar qira’ah dari 70 orang Tai’in.
3)      Abdullah Al-Yashibi terkenal dengan sebutan Abu Amir Ad-Dimasyqi (wafat 118 H) dari Syam. Ia mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syaibah Al-Mahzumi.
4)      Abu Amar (wafat 154 H) dari Bsrah, Irak. Ia meriwayatkan Qira’at dari Mujahid bin Jabr.
5)      Ya’qub (wafat 205 H) dari Basrah, Irak. Ya’qub belajar qira’at pada Salam bin Sulaiman Al-Thawil yang mengambil qira’at dari ‘Ashim dan Abu Amar.
6)      Hamzah (wafat 188 H) Hamzah belajar qira’at pada Sulaiman bin Mahram Al-A’masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubasyi, dari Ustman bin Affan, ‘Ali bin Thalib dan Mas’ud.
7)      Ashim (wafat 127 H). Ia belajar qira’at dari Dzar bin Hubaisy, dan Abdullah bin Mas’ud.
b.      Qira’at Asyarah (Qira’at sepuluh). Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan diatas ditambah tiga Qira’at berikut:
1)      Abu Ja’far, memperoleh qira’at dari Abdullah bin Ayyasy bin Rabi’ah, Abdullah bin Abbsa, dan Abu Hurairah. Mereka berdua memperolehnya dari Ubay bin Ka’ab, sedangkan Ubay memperolehnya langsung dari Nabi.
2)      Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Bashri. Ia memperoleh qira’at dari banyak orang yang sanadnya bertemu pada Abu Musa Al-Asy’ari dan Ibn Abbas, yang membaca langsung dari Rasulullah SAW
3)      Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzaz Al-Baghdad. Ia menerima qira’at dari Sulaiman bin Isa’ bin Habib.
c.       Qira’at Arba’at Asyrah (Qira’at empat belas). Yang dimaksud qira’at empat belas adalah Qira’at sepuluh diatas ditambah  dengan empat qira’at dibawah ini:
1)      Al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H). Salah seorang Tabi’in besar yang terkenal kezahidannya.
2)      Muhammad bin Abdirrahman (wafat 123 H). Ia adalah guru Abi ‘ Amr
3)      Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi (wafat 202 H). Ia mengambil qira’at dari Abi ‘Amr dan Hamzah.
4)      Abu Al-Fajr Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz (wafat 388 H).[5]
2.       Dari Segi Kualitas
Berdasarkan penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitas, qira’at dapat dikelompokkan dalam lima bagian:
a.       Qira’at Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qira’at yang ada masuk kedalam bagian ini.
b.      Qira’at Mansyur, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas Mutawatir, sesuai kaidah bahasa Arab dan tulisan Mushaf “Ustmani, Mansyur dikalangan Qurra’. Dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’at yang keliru dan menyimpang.
c.       Qira’at Ahad, yakni memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf ‘Ustmani dan kaidah bahasa Arab, ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
d.      Qira’at Syadz (menyimpang), yakni yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis Qira’at ini.
e.       Qira’at Maudhu’ (palsu), seperti qira’at Al-Khazzani, Ash-Suyuthi kemudian menambah qira’at yang keenam.
f.       Qira’at yang menyerupai Hadits Mudraj (sisipan), yakni adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran.[6]

C.    Fungsi Qira’at dan Pengaruh dalam Istinbat Hukum
Perbedaan-perbedaan qira’at terkadang berpengaruh pula dalam menetapkan ketentuan hukum. Contoh berikut ini dapat memperlihatkan pengaruh itu:
a.       Surat Al-Baqarah [2]: 222:
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran’. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka bersuci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. ” (QS. Al-Baqarah:222)
Berkaitan dengan ayat diatas, di antara imam qira’at tujuh, yaitu Abu Bakar Syu’bah (qira’at ‘Ashim riwayat Syau’bah), Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca kata “yuthhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuthtahhirna”. Berdasarkan perbedaan diatas qira’at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca “yuthhurna” berpendapat bahwa seseorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yuthtahhirna” menafsirkan bahwa seseorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih.
b.      Surat An-Nisa’ [4]: 43:
Artinya:
Dan jika sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air kecil atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa:43)
Berkaitan dengan ayat ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa’i memendekkan huruf lam pada kata “lamastum”, sementara imam-imam lainnya memanjangkan. Bertolak dari perbedaan qira’at ini, terdapat tiga versi pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh, dan saling bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qira’at itu pula, para ulama fiqih ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada yang berpendapat bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau berhubungan badan.
c.       Surat Al-Maidah [5]:6:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. ” (QS. Al-Maidah:6)
Berkaitan dengan ayat ini, Nafi’, ibn ‘Amir, Hafs, dan Al-Kisa’i membacanya dengan “arjulukum”, sementara imam-imam yang lain membacanya dengan “arjulikum”. Dengan membaca “arjulukum”, mayoritas ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membedakan dengan menyapunya. Pendapat ini mereka perkuat dengan beberapa hadis. Ulama Syi’ah Imamiyah berpegang pada bacaan “arjulikum” sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki dalam wudhu’. Pendapat yang sama diriwayatkan juga dari Ibn ‘Abbas dan Anas Malik.[7]

 IV.            KESIMPULAN
Qira’at adalah salah satu aliran dalam pelafalan atau pengucapan Al-Qur’an oleh sala seorang imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya. Qira’at dibagi dalam beberapa macam yang dibagi dalam segi kualitas dan kuantitas. Ada beberapa perbedaan didalam Qira’atul Qur’an, karena berbedanya sumber-sumber dari para mujtahid. Namun bacaan yang paling tepat yaitu bacaannya Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan sumber Qira’atul Qur’an.

    V.            PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat. Kami menyadari didalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan baik pada segi penulisan maupun minimnya buku referensi. Untuk itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin...




DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan, Ulumul Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia. 2008
Al A’zami, M. M,  Sejarah Teks Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press. 2005
Akaha, Abduh Zulfikar, Al-Qur’an dan Qira’ah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1996
Chirzin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1998
Marzuki, Kamaludin, Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Rosdakarya. 1992



[1] M. M. Al A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, dari wahyu sampai kompilasi terjemahan. Sohirin DKK. Jakarta: Gema Insani Press. 2005, hlm. 73
[2] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1998, hlm. 85
[3] Abduh Zulfikar Akaha, Al-Qur’an dan Qira’ah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1996, hlm, 194
[4] Dr. Rosihan Anwar, M.Ag, Ulumul Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 148-149
[5] Kamaludin Marzuki, Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Rosdakarya. Hlm 104-105
[6] Dr. Rosihan Anwar, M.Ag, Op. Cit Hlm. 151-154
[7] Ibid. Hlm 157-159

0 Response to "ILMU QIRAAT AL-QURAN"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel