MENDEDAH PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA ERA GLOBAL
Tuesday, July 16, 2013
Add Comment
MENDEDAH PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA ERA GLOBAL
Andoyo Sastromiharjo *)
Globalisasi melanda berbagai negara dan merambah
segenap kehidupan manusia. Featherston
(dalam Muslich,
2007) menyatakan bahwa globalisasi menembus batas-batas budaya
melalui jangkauan luas perjalanan
udara, semakin luasnya komunikasi dan meningkatnya turis ke berbagai negara. Pada era globalisasi informasi saat ini suatu bangsa dituntut untuk melakukan
berbagai upaya mencari dan menerima informasi tentang berbagai hal. Kondisi demikian
menjadikan suatu bangsa berusaha menjalin
kerja sama dengan bangsa lain untuk
mendapatkan
informasi secara maksimal sehingga tercipta keseimbangan
dan kesejajaran dalam berbagai bidang kehidupan.
Berbahasa merupakan kegiatan
yang
selalu mengisi berbagai bidang kehidupan umat, misalnya,
bidang ekonomi, hukum,
politik,
dan pendidikan. Kegiatan tersebut berlangsung, baik
secara transaksional maupun interaksional.
Melalui kegiatan tersebut pemakai bahasa berusaha memerikan, memaparkan, memberikan alasan, menceritakan, atau menyarankan sesuatu. Bahkan,
van
Ek dan Alexander (dalam Brown,1994:234)
mendaftar 70 fungsi bahasa.
Dalam dunia pendidikan,
khususnya pendidikan
bahasa,
penggunaan
bahasa dikemas dalam empat aspek
keterampilan
berbahasa (menyimak, membaca,
berbicara,
dan
menulis). Keempat aspek keterampilan
berbahasa tersebut menjadi landasan
pembelajaran sejak SD hingga perguruan
tinggi. Setiap pebelajar
diberdayakan kompetensinya untuk
menguasai keempat aspek tersebut (meskipun sulit mencari orang
yang menguasai keempatnya).
Keterampilan
berbahasa merupakan
aspek kemampuan berbahasa yang menjadi sasaran tumpu pembelajaran bahasa. Oleh
sebab itu, dalam dunia pendidikan para guru bahasa terus
berupaya meningkatkan keberhasilan dalam pembelajaran bahasa melalui pencapaian kompetensi berbahasa,
yakni menyimak,
membaca, berbicara, dan menulis. Bahkan,
dalam
*) Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI
KTSP untuk
SMA (MA)
dinyatakan bahwa standar kompetensi lulusan untuk
pelajaran
Bahasa
Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Mendengarkan
Memahami wacana lisan dalam kegiatan
penyampaian
berita, laporan, saran,
berberita, pidato, wawancara,
diskusi, seminar,
dan pembacaan karya sastra berbentuk puisi,
cerita rakyat, drama,
cerpen, dan
novel.
2. Berbicara
Menggunakan
wacana lisan untuk
mengungkapkan
pikiran, perasaan,
dan
informasi dalam kegiatan
berkenalan,
diskusi,
bercerita, presentasi hasil penelitian, serta mengomentari pembacaan
puisi dan
pementasan
drama.
3. Membaca
Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana tulis teks nonsastra
berbentuk grafik,
tabel, artikel,
tajuk
rencana, teks pidato,
serta teks sastra berbentuk
puisi, hikayat, novel, biografi, puisi kontemporer,
karya sastra berbagai angkatan dan
sastra Melayu
klasik.
4. Menulis
Menggunakan
berbagai jenis wacana tulis untuk mengungkapkan
pikiran, perasaan,
dan informasi dalam bentuk teks narasi,
deskripsi,
eksposisi,
argumentasi,
teks pidato,
proposal, surat dinas, surat dagang, rangkuman, ringkasan,
notulen, laporan,
resensi, karya ilmiah, dan berbagai karya sastra berbentuk
puisi, cerpen,
drama,
kritik,
dan
esei.
Dengan
mencermati SKL tersebut kita dapat berkreasi untuk
menemukan inovasi-
inovasi pembelajaran sehingga semua butir SKL terpenuhi pada akhir jenjang pendidikan SMA. Butir-butir SKL tersebut mengarah
pada
penggunaan bahasa. Dengan kata lain,
pembelajaran bahasa di sekolah diarahkan untuk keterampilan berbahasa. Pembelajarannya bersifat integratif.
Tujuan pembelajaran bahasa di sekolah-sekolah
mengarah
pada berbagai kemampuan sebagai berikut.
1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara
lisan maupun tulis
2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan
bahasa negara
3. Memahami bahasa Indonesia dan
menggunakannya dengan
tepat dan
kreatif untuk
berbagai tujuan
4. Menggunakan
bahasa Indonesia untuk meningkatkan
kemampuan intelektual,
serta kematangan
emosional dan
sosial
5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan berbahasa
6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan
intelektual manusia Indonesia.
Jika dicermati lebih saksama, berbagai tujuan pembelajaran tersebut dapat dikelompokkan
ke dalam tiga ranah pembelajaran, yakni ranah
kognitif,
psikomotorik,
dan afektif.
Di
antara ketiga ranah tersebut,
ranah kognitif dan
psikomotorik
yang lebih
mendominasi
pembelajaran, sedangkan
ranah afektif
banyak
ditinggalkan (dilupakan) para guru. Padahal,
ranah afektif
sangat penting untuk
membangkitkan
motivasi belajar.
Di dalam KTSP dinyatakan bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi.
Pernyataan tersebut berimplikasi bahwa siapa pun yang
mempelajari suatu bahasa pada
hakikatnya sedang
belajar berkomunikasi. Thompson (2003:1) menyatakan bahwa komunikasi
merupakan fitur
mendasar dari kehidupan sosial dan
bahasa merupakan komponen
utamanya. Pernyataan tersebut
menyuratkan bahwa kegiatan berkomunikasi tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan berbahasa. Oleh sebab itu, para linguis terapan (khususnya dalam bidang pengajaran
dan pembelajaran bahasa) selalu berupaya untuk melahirkan pikiran-pikiran barunya untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran bahasa sehingga para siswa mampu menunjukkan
kompetensinya dalam berbahasa.
Dalam menghadapi
era
global saat
ini,
tampaknya
kita harus berbenah untuk
menghadapi berbagai fenomena yang
terjadi. Tujuan pembelajaran bahasa yang mengarah pada penggunaan bahasa perlu mendapat pencermatan kita. Saat ini perhatian para guru bahasa
Indonesia tertuju pada upaya menerampilkan siswa dalam penggunaan bahasa Indonesia. Pertanyaan kritis
untuk kondisi seperti itu adalah apakah kita akan berhenti melakukan upaya
dalam pembelajaran
bahasa manakalah
para siswa terampil menggunakan
bahasa.
Pada era
global diperlukan
pikiran-pikiran
kritis dan kreatif.
Kemampuan berpikir
tersebut perlu mendapat perhatian para pendidik,
termasuk guru bahasa Indonesia. Untuk
itu, pembelajaran
bahasa
Indonesia
saat
ini tidak sekadar mencapai keterampilan
berbahasa Indonesia, tetapi juga mengarah pada peningkatan kemampuan berpikir tersebut. Dengan kata
lain, sudah saatnya kita bertanya diri apa yang bisa kita berikan untuk menjadikan siswa berpikir kritis dan
kreatif melalui pembelajaran
bahasa Indonesia.
Berpikir
kritis merupakan
salah satu kegiatan manusia yang saat ini sangat diperlukan untuk
mengembangkan
berbagai segi kehidupan,
baik sosial, budaya, maupun
teknologi. Alvino
(dalam Cotton,1991)
menyatakan bahwa berpikir
kritis adalah
proses menentukan
kebenaran,
ketepatan, atau penilaian terhadap sesuatu yang ditandai dengan mencari alasan
dan
alternatif, dan mengubah
pandangan
seseorang berdasarkan bukti.
Scriven
& Paul (dalam Cotton,1991;
Piaw, 2004:66) memberikan batasan terhadap berpikir
kritis sebagai salah satu model berpikir –
tentang suatu subjek, isi, atau masalah –
yang digunakan oleh
seseorang untuk meningkatkan
kualitas berpikirnya melalui penggunaan
struktur berpikir secara cekatan dan
menentukan
standar intelektualnya. Kedua batasan tersebut memunculkan pemahaman
bahwa berpikir kritis
terkait dengan logika. Lebih lanjut Alvino menyatakan bahwa berpikir
kritis disebut juga
berpikir logis dan
berpikir
analitis.
Alvino
membatasi berpikir
kreatif
sebagai cara melihat dan melakukan sesuatu yang baru yang ditandai dengan
kelancaran
(menghasilkan
banyak
gagasan),
kelenturan (mengubah
pandangan
secara mudah), keaslian (memiliki kebaruan),
dan
elaborasi (membangun berbagai gagasan). Facione (1998)
menyatakan
bahwa berpikir
kreatif
atau berpikir inovatif
adalah
sejenis berpikir
yang menimbulkan
wawasan
baru,
pendekatan baru,
perspektif yang segar, yang semuanya merupakan
cara-cara baru untuk
memahami dan
menyusun sesuatu.
Secara singkat Smalling (dalam Cotton,1991) memberikan
batasan bahwa creative thinking is the ability to invent original ideas for accomplishing goals.
Ketiga batasan tersebut terkait dengan
unsur “baru”. Unsur ini menjadi penanda kreativitas. Unsur “baru” dalam produk
kreatif ini tidak
berarti harus “baru sama sekali”. Unsur
ini dapat dihasilkan
dari proses kombinasi,
penggabungan, atau
penyusunan kembali gagasan.
Dengan
demikian, “kebaruan” lebih dekat dengan
pertimbangan dari sudut pengalaman pencipta.
Selain
itu,
bukan berarti produk
kreatif hanya didasarkan
pada
unsur “baru” tanpa
mempertimbangkan
proses berpikir yang
melahirkan
kebaruan tersebut. Produk
kreatif
lahir dari proses berpikir yang melibatkan juga struktur berpikir logis sehingga “keanehan”, “keunikan”,
dan “keganjilan” masih
dapat dijelaskan
secara rasional.
Misalnya,
robot sebagai produk
kreatif
di bidang teknologi,
baik dalam penciptaannya maupun
operasinya menggunakan prinsip-prinsip logika teknologi.
Kedua jenis berpikir
tersebut sangat tepat untuk mendedah pembelajaran
bahasa Indonesia saat ini.
Mari kita tafakur: sudahkah kita mengarahkan
pembelajaran bahasa Indonesia
untuk menjadikan siswa mampu berpikir kritis dan
kreatif
sehingga mereka dapat menghadapi
berbagai tantangan dalam era global saat ini; bagaimana caranya sehingga pembelajaran bahasa
Indonesia mampu
menggerakkan pikiran kritis dan kreatif siswa.
Pembelajaran
bahasa Indonesia saat ini, menurut saya, belum menuju
pada pembentukan
kedua pola berpikir tersebut.
Para guru masih sibuk memikirkan pencapaian
berbagai kompetensi yang dituntut KTSP sehingga pembelajaran yang berlangsung belum menembus hakikat pembentukan
pola
berpikir.
Agar pembelajaran
bahasa Indonesia masuk ke zona pembentukan pola berpikir, teknik-teknik
pembelajarannya perlu
dikokohkan. Armstrong (2009:vii) menyatakan bahwa sarana berpikir
kreatif membantu menyatukan fungsi hemisfer kanan –kiri, memperkuat,
dan
mengintegrasikan
proses berpikir secara serempak, tetapi bertahap. Lebih
lanjut Armstrong menawarkan
teknik pembelajaran
melalui solusi seluruh
otak (The Whole –
Brain Solution).
Dalam pembelajaran mendengarkan dan membaca teknik pembelajarannya harus sampai pada siswa mampu menemukan
strategi informasi yang ditangkapnya bukan hanya siswa mampu
mengingat dan menemukan
pokok-pokok
pikiran. Jika sampai pada penemuan
strategi informasi
siswa dapat berpikir kritis dan
kreatif mengenai pokok
pikiran yang disampaikan,
pengurutan
pokok pikiran, dan pandangan
yang melatarbelakanginya.
Dalam pembelajaran berbicara siswa diharapkan mampu
menyampaikan pikiran-pikiran
kritis dan kreatif
dalam menghadapi berbagai fenomena kehidupan. Teknik
pembelajaran yang
digunakan
sebaiknya mengarah
pada
teknik seminar sehingga para siswa disiapkan
untuk
menemukan
topik, mengunduh informasi, meramu
gagasan,
dan mempresentasikan pikiran- pikiran
kritis dan
kreatif, baik
pada kelas kecil maupun pada kelas besar.
Dengan
penguatan seperti itu
pembelajaran bahasa dapat berkiprah
pada
pemecahan masalah yang terjadi dalam
kehidupan.
Dalam pembelajaran menulis para siswa harus mampu menyajikan
berbagai tulisannya
untuk menjawab tantangan
zaman.
Penelusuran topik, penemuan masalah, dan
pemecahan masalah
harus menjadi bagian yang tak
terpisahkan. Tulisan
para siswa harus mendapat apresiasi untuk
dapat disajikan dalam berbagai forum atau penerbitan.
Dengan
demikian,
pembelajaran bahasa Indonesia mampu
membentuk keberanian siswa untuk menyampaikan
pikiran
kritis dan kreatifnya.
Dalam pembelajaran kemampuan bersastra para siswa diarahkan untuk mampu
menyelami karya sastra (bukan hanya persoalan
unsur intrinsik,
melainkan juga unsur ekstrinsiknya). Dalam hal memahami unsur
intrinsik, kepahaman para siswa bukan hanya sebatas menemukan
unsur intrinsik, melainkan juga diajak untuk menembus batas-batasnya
sehingga diperlukan kemampuan
berpikir kritis dan
kreatifnya.
Dalam hal memahami unsur ekstrinsik, para siswa diajak untuk
mampu melihat nilai-nilai yang terkandung di dalam karya
sastra sehingga mereka dapat memberikan pertimbangan mengenai kualitas kehidupan manusia.
Untuk
dapat menembus entitas paparan di atas kita perlu menyiapkan
diri
menjadi guru yang memiliki kompetensi dan profesional. Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 19
Tahun
2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan dijelaskan bahwa seorang pendidik
harus memiliki
kompetensi sebagai agen pembelajaran, yaitu (a)
kompetensi pedagogik, (b) kompetensi sosial,
(c) kompetensi kepribadian, dan
(d) kompetensi profesional. Penegakan profesionalisme bagi guru
bahasa Indonesia bukan hanya berkaitan dengan
substansi pembelajaran yang dibawakannya, melainkan
juga berhubungan
dengan kondisi kepribadian
yang dimiliki guru
bahasa tersebut.
Kondisi kepribadian
yang dimaksud adalah
kualitas motivasi dan
rasa tanggung
jawab yang dimilikinya.
Terkait dengan profesi guru, Johnson (2008:5) menempatkan
posisi guru
ke dalam tiga bagian,
yaitu
guru super, guru ekselen,
dan guru
baik. Guru yang super biasanya tiba di sekolah lebih awal dan
pulang paling akhir, menghadiri seminar
dan
melanjutkan pendidikan,
sukarelawan
bagi kegiatan
siswa,
dan memberikan diri mereka bagi
para siswa yang membutuhkan
bantuan
ekstra di dalam maupun
di luar kelas.
Guru yang ekselen
menikmati pekerjaan mereka, tetapi mereka membatasi jumlah
waktu dan energi yang mereka baktikan
untuk
mengajar.
Guru yang baik mengerjakan
pekerjaan mereka dengan baik, tetapi
mereka memahami batasan mereka sendiri. Lebih
lanjut dia mengatakan
bahwa keinginan
menjadi guru bergantung pada kekuatan
personal,
hubungan pertemanan, tujuan
profesional, dan
prioritas individual.
Lie (2009:12) menyatakan
bahwa dalam proses globalisasi terjadi transformasi sosial,
ekonomi, dan demografis yang mengharuskan
sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi untuk lebih
menyiapkan
anak
didik
dengan
keterampilan-keterampilan baru untuk
bisa ikut berpartisipasi dalam dunia yang berubah
dan berkembang pesat. Dengan kata lain, pembelajaran
bahasa
Indonesia saat ini harus ikut berkiprah
agar para siswa mampu menggunakan
sarana berpikir tingkat tinggi. Dalam pengejawantahannya Armstrong (2009:vii) menyarankan agar
sarana berpikir
tingkat tinggi tersebut dikemas dalam strategi-strategi pembelajaran yang meningkatkan partisipasi siswa dalam pembelajaran
dengan
cara
mengidentifikasi relevansi,
dengan melibatkan keterampilan transformasi,
dan secara aktif
menggunakan
informasi.
Saran Armstrong tersebut memberikan sinyal kepada guru
bahasa Indonesia bahwa dalam kegiatan
pembelajaran guru
perlu
meningkatkan frekuensi pembelajaran yang mengajak siswa
untuk melakukan
analisis, sintesis,
dan evaluasi untuk membangkitkan berpikir tingkat tinggi menghadapi era global.
Melalui ketiga ranah
tersebut siswa harus sering dihadapkan pada topik pembelajaran yang menantang mereka untuk
melakukan kegiatan berpikir tingkat tinggi tersebut
sehingga permasalahan
dalam kehidupan dapat dipecahkan melalui berbagai alternatifnya.
Daftar Rujukan
Armstrong,
Tricia.
2009. The whole-Brain Solution.
Alih
bahasa Nien
Bakdisoemanto.
Jakarta: Grasindo.
Brown, H.D.
1994. Principles of Language
Learning and Teaching.
Third Edition.Englewood
Cliffs: Prentice Hall Regents.
Cotton, K. 1991. Teaching Thinking Skills, (Online), (http://www.nwrel.org/scpd/
sirs/6cul11.html. diunduh
10 Maret 2003.
Facione, P.A.1998. Critical Thinking: What It Is and Why It Counts?
(Online), (http://www.insightassesment.com/pdf_files/what&why.
diunduh 21 Januari 2006.
Johnson, LouAnne.2008. Pengajaran
yang
Kreatif dan
Menarik.
Terjemahan
Dani Dharyani.
Jakarta: Indeks.
Lie, Anita.2008.
Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning
di Ruang-ruang
Kelas.
Jakarta: Grasindo.
Muslich,
Masnur.
2007. Bahasa Indonesia:
Peluang dan Tantangan pada Era
Globalisasi.
ch-m.blogspot.com/2007/04/bahasa-indonesia-peluang-dan-tantangan.html 29 Juli 2009
Peraturan
Pemerintah Republik
Indonesia Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Piaw,
Ch.Y. 2004. Creative and Critical Thinking Styles.
Serdang: Universiti Putra Malaysia
Press.
Thompson,
N. 2003. Communication
and Language. New York: Palgrave Macmillan.
0 Response to "MENDEDAH PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA ERA GLOBAL"
Post a Comment