PENGEMBANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DI SMA DAN IMPILIKASINYA
Thursday, July 18, 2013
Add Comment
PENGEMBANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
DI SMA DAN IMPILIKASINYA
A. Pendahuluan
Dikotomi
keilmuan, itulah hal yang mengemuka
dalam praktek
pendidikan dewasa ini, ilmu agama dipandang memiliki kutub tersendiri yang
secara ekstrim terpisah dengan ilmu umum. Sehingga wajar
ketika
Imam Samudra dalam bukunya Aku Melawan Teroris menyebutkan
bahwa praktek pendidikan
di sekolah
umum bersifat
sekuler.
Kurikulum
pendidikan di sekolah
secara terencana memisahkan antara ilmu umum dengan
ilmu
agama, bahkan yang lebih mirisnya bahwa alokasi jam pelajaran untuk ilmu agama
sangat jauh presentasenya jika dibanding dengan ilmu umum. Al Faruqi
dalam Nata (2003:151-152) mengungkapkan bahwa pendikotomian ini menurutnya merupakan simbol kejatuhan umat Islam, karena sesungguhnya setiap aspek harus dapat mengungkapkan
relevansi Islam dalam ketiga sumbu tauhid. Pertama,
kesatuan pengetahuan;
Kedua, kesatuan hidup; Ketiga, kesatuan sejarah. Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat Islam sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad
ke-17 yang
dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ini pada
kelanjutannya berdampak negatif terhadap kemajuan Islam.
Sementara Ikhrom dalam Nata dkk (2003:153-154)
mengungkapkan
bahwa setidaknya terdapat empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum
dan
ilmu-ilmu agama, yaitu sebagai berikut:
1. Munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; di mana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan
dirinya sebagai
lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fil al din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan
garapan mereka; sementara
itu, modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan umum ke dalam lembaga tersebut telah mengubah citra pesantren sebagai
lembaga
taffaquh fil
adin
tersebut.
Akibatnya, telah
terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran
agama hanya menjadi
stempel yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan
modern yang sekuler.
2. Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajara Islam.
Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan
dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu umum dan agama.
3. Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-masing
sistem (modern/umum) barat dan agama tetap bersikukuh
mempertahankan kediriannya.
4. Munculnya inferioritas pengelola
lembaga pendidikan Islam. Hal ini
disebabkan karena pendidikan
barat kurang menghargai nilai-nilai kultur dan moral.
Namun demikian, Soewardi (2001:1-24) berpandangan lain, menurutnya bahwa abad 20 merupakan
akhir dari Sains Barat Sekuler (SBS) yang telah melahirkan krisis global dan menghasilkan
3R (Renggut, Resah, Rusak). Abad ini adalah momentum menuju lahirnya Sains Tauhidullah
atau sains Islami. Sains tauhidullah tiada lain adalah alternatif terhadap SBS yang
kini sudah hampir kandas. Islamisasi sains bukanlah mengislamkan sains,
akan tetapi mencari kelanjutan SBS yang pada penghujung abad 20 sampai
pada 3 R. Karakteristik utama sains tauhidullah adalah naqliyah memandu aqliyah atau wahyu yang memandu fitrah atau akal manusia. Kecenderungan akan lahir dan berkembangnya sains tauhidullah tersebut tentunnya harus berimplikasi pada proses transfer of knowledge semua disiplin ilmu yang
menjadi muatan kurikulum pada satuan pendidikan,
terlebih bagi madrasah
yang
menjadikan agama Islam sebagai identitas kelembagaan.
Dalam konteks
pembelajaran ekonomi, pembelajaran ekonomi yang diintegrasikan dengan nilai-nilai ketauhidanlah yang akan menjadi solusi atas terjadinya krisis global
akibat perkembangan
sains sekuler
barat
yang sudah
melahirkan resah,
renggut, dan rusak.
Berbeda dengan Soewardi yang menggunakan istilah sains
tauhidullah,
Nata dkk (2003:141) menggunakan istilah islamization dalam mengangkat konsep integrasi ilmu agama ke dalam ilmu umum. Menurutnya,
islamisasi dalam makna yang luas menunjukan
pada proses pengislaman, di mana objeknya
adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun
objek lainnya. Dalam kontek islamisasi ilmu pengetahuan, yang
harus
mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmu (thalib al almi)- nya, bukan ilmu itu sendiri.
Berangkat dari
uraian
di atas,
maka
penulis merasa penting untuk membuat tulisan stimulus bagi para praktisi pendidikan tentang reorientasi
arah pendidikan kita ke arah praktek pendidikan yang lebih dekat dengan nilai-nilai transendental, hal tersebut akan berangkat dari pemikiran yang mendasar dalam kerangka filsafat pendidikan Islam sebagai kajian filsafat
yang sangat penting
untuk
diketahui oleh para praktisi pendidikan di lingkungan satuan pendidikan.
B. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Secara
harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang
berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat
berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-
Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan
cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya,
memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha menautkan sebab dan akibat, dan
berusaha menafsirkan pengalaman- pengalaman manusia.
Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat
berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal
dari bahasa Yunani, Philosophia:
philos berarti
cinta,
suka
(loving),
dan sophia yang berarti
pengetahuan,
hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia
berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta
kepada kebenaran atau
lazimnya
disebut Pholosopher yang dalam
bahasa Arab disebut failasuf.
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat
telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-
411 SM), yang
dikenal sebagai orang yang
pertama yang
menggunakan
perkataan
tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahsan atau semantik adalah cinta terhadap
pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan
demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan
atau kebikasanaan
sebagai sasaran utamanya.
Filsafat juga memilki pengertian
dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan
oleh para ahli, atau pengertian
dari segi praktis. Selanjutnya
bagaimanakah pandangan para ahli
mengenai
pendidikan dalam
arti
yang
lazim digunakan dalam praktek pendidikan.Dalam hubungan ini dijumpai
berbagai rumusan yang
berbeda-beda. Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si – terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusannya
ini,
Marimba menyebutkan ada lima
unsur utama dalam
pendidikan,
yaitu 1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang
dilakukan secara sadar. 2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong. 3) Ada yang di didik atau si terdidik. 4) Adanya
dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan. 5)
Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang
diakui
lebih sempurna
dan
kompherhensif dibandingkan
dengan agama-agama lainnya yang pernah
diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia
dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup
sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan
diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di
dunia
termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah
pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Qur’an
dan al Sunnah. Sebagai sumber ajaran,
al Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian
yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.
Demikian pula dengan
al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui
memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi
Muhammad SAW, telah mencanangkan
program pendidikan seumur hidup (
long life education
).
Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah
yang ditempuh
al
Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat
martabat kehidupan
manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang
dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya. Hadist dari Nabi SAW :
“ Sesungguhnya orang
mu’min yang paling
dicintai
oleh
Allah ialah orang
yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat
kepada hamba-Nya, sempurna akal
pikirannya,
serta
mengamalkan
ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan
ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”
Dari ayat dan hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Al Qur’an diturunkan kepada umat manusia
untuk memberi
petunjuk
kearah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk
kearah jalan yang diridloi Allah SWT.
2. Menurut Hadist Nabi, bahwa diantara sifat orang
mukmin ialah saling menasihati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan
sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan Islam.
3. Al Qur’an dan Hadist tersebut menerangkan bahwa nabi adalah benar- benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk,
memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam.
Bagi umat Islam maka dasar agama Islam merupakan
fondasi utama keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal
yang kandungannya
sudah tercakup seluruh aspek kehidupan ini. Pendidikan
dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk
mengalihkan
pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta
keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya.
Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan,
karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya,
agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit, dan memakan
waktu yang
cukup banyak dan lama, terutama sekali dimasa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para
ahli pendidik
dan
juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik.
Kalau teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus
meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang
menjadi
landasan praktek pendidikan yang melaksanakan studi
seperti itu
sampai batas tersebut bersifat dan mengandung
unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang
telah dipertimbangkan
sebelumnya didalam sistem pendidikan, hanya untuk
membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan
suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan
dengan hati-hati
sebelumnya. Sedangkan para ahli filsafat pendidikan,
sebaiknya mungkin
tersesat dalam abstraksi yang
tinggi yang penuh dengan debat tiada
berkeputusan,akan
tetapi tanpa adanya gagasan jelas buat menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan yang ideal.
Tidak ada satupun
dari permasalahan kita mendesak dapat dipecahkan
dengan cepat atau dengan mengulang-ulang dengan gigih kata-kata yang
hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang lebih baik daripada mengadakan
reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka itu telah
membicarakan masalah yang sangat mendasar. Sebagai ajaran (doktrin) Islam
mengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berlangsung dan
dikembangkan secara
konsisten menuju
tujuannya.
Sejalan
dengan
pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka
sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan
(struktur) pendidikan islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.
Pendidikan Islam
mengidentifikasi
sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :
1. Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah-tengah
makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
2. Menyadarkan fungsi
manusia dalam
hubungannya dengan masyarakat,
serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
3. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada Nya
Menyadarkan manusia
tentang kedudukannya terhadap
makhluk
lain
dan
membawanya
agar memahami hikmah
tuhan
menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya
Setelah mengikuti uraian diatas kiranya
dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan
Islam itu
merupakan
suatu
kajian secara
filosofis mengenai
masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan
pada al Qur’an dan
al Hadist sebagai sumber primer, dan
pendapat
para
ahli,
khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder. Dengan demikian,
filsafat pendidikan Islam secara singkat
dapat dikatakan adalah filsafat
pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam
atau filsafat
pendidikan
yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang
bercorak
liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana
dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
C. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan
Islam
Penjelasan
mengenai ruang lingkup ini
mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan Islam telah diakui sebagai sebuah disiplin
ilmu. Hal ini
dapat dilihat
dari adanya beberapa sumber bacaan, khususnya buku
yang
menginformasikan hasil penelitian tentang filsafat pendidikan Islam. Sebagai
sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau filsafat pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau cakupan pembahasannya. Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat
pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan menyeluruh
(universal) tentang pendidikan, ysng tidak
hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk
mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup
filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah
tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
D. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam
Prof. Mohammad
Athiyah
abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan
5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang
diuraikan dalam “ At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha “ yaitu :
1. Untuk membantu
pembentukan akhlak yang
mulia. Islam
menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
2. Persiapan
untuk kehidupan dunia
dan
kehidupan akhirat. Pendidikan
Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya
sekaligus.
3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan
ia
mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya.
4. Menyiapkan pelajar
dari segi profesional, teknis, dan
perusahaan supaya ia
dapat mengusai
profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan
tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup
dengan mulia di samping
memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.
5. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan.
Pendidikan
Islam tidaklah semuanya
bersifat
agama
atau akhlak,
atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan
pada tujuan-tujuan, kurikulum,
dan
aktivitasnya. Tidaklah tercapai
kesempurnaan
manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan.
E. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam
Sebagai suatu metode, pengembangan filsafat pendidikan Islam
biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut :
Pertama, bahan-bahan yang
akan digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu al Qur’an dan al Hadist yang disertai pendapat para ulama serta para filosof dan lainnya,
serta bahan yang akan di ambil dari pengalaman empirik dalam praktek
kependidikan.
Kedua,
metode pencarian bahan.
Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan
dan
studi lapangan yang masing-masing
prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun
demikian,
khusus dalam
menggunakan al Qur’an
dan al
Hadist
dapat digunakan jasa Ensiklopedi al Qur’an semacam Mu’jam al Mufahras
li
Alfazh al Qur’an al Karim karangan Muhammad Fuad Abd Baqi dan Mu’jam al
muhfars li Alfazh al Hadist karangan Weinsink.
Ketiga, metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin
Arifin mengajukan alternatif metode analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan
rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif, dedukatif, dan
analisa ilmiah.
Keempat, pendekatan. Dalam hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus pula dijelaskan pendekatan yang akan digunakan untuk membahas tersebut. Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan
ini
pendekatan lebih
merupakan pisau yang akan digunakan
dalam analisa. Ia semacam paradigma
(cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
F. Tujuan Pendidikan dalam Islam
First World Conference on Muslim Education
yang
diadakan di
Makkah pada tahun 1977 merumuskan sebagai berikut :
“Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang
menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun
struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta
melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.”
Oleh karena itu, jelaslah bahwa yang
dimaksud dengan pendidikan
Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang
pada gilirannya
mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah,
pesantren
atau UIN (dulu
IAIN).1 Akan tetapi
yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan
nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan
akan bermunculan “anak-anak muda enerjik yang berotak
Jerman
dan berhati Makkah” seperti yang sering
dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie.
Kata-kata senada
dan
lebih komprehensif diungkapkan
oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic
Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan.
Di sini perlu ditekankan bahwa konsep pendidikan
dalam Islam adalah
‘long life education’ atau dalam bahasa Hadits Nabi “sejak dari pangkuan ibu
sampai ke liang
lahat” (from
the
cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-
tahap awal, khususnya
sebelum memasuki bangku sekolah, perang orang tua
terutama ibu
amatlah krusial
dan menentukan mengingat pada
usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting
di dalam
menanamkan nilai-nilai keislaman kepada
anak. Sayangnya
orang tua
bukanlah satu-satunya pendidik di rumah, ada pendidik lain yang kadang-
kadang peranannya
justru lebih dominan dari orang tua yang di Barat disebut
dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap
perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa
mengarah pada “a dominant voice in our lives dan a major agent of
socialization in the lives
of our children” (menjadi suara dominan dalam
kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak-anak
kita).
Tentu saja peran orang
tua
tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya
ketika anak mulai
memasuki
usia sekolah, baik SD,
SMP, maupun
SMU. Menjelang mas
pubertas yakni pada
usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang
sangat kritis di mana sukses atau gagalnya
karir masa
depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst,
pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini
sebagai “developmental task” atau proses perkembangn anak menuju usia dewasa.
Merujuk kepada pendapat beberapa ahli dapat ditarik benang
merahnya bahwa maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Memberikan nilai-nilai Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
2. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran
fundamental Islam
yang
terwujud dalam
Al-Qur’an
dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
3. Memberikan pengertian-pengertian
dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman
yang jelas bahwa
hal-hal
tersebut dapat berubah
sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
4. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan
Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
5. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan
maupun dalam ilmu pengetahuan.
6. Mengembangkan manusia
Islami
yang berkualitas tinggi yang
diakui
secara universal.
G. Implementasi Filsafat Pendidikan Islam di SMA
Berbicara tentang implikasi berarti berbicara dalam kerangka operasional. Dengan kata lain, berbicara tentang bagaimana hakikat, nilai dan kerangka keilmuan
yang diformulasikan dalam kurikulum hasil rancangan
para pendidik, menyandarkan
diri kepada sumber nilai Islam yakni Al qur’an dan
Hadits sebagai
sumber primer dan pendapat para ilmuwan muslim sebagai rujukan sekunder. Penulis menawarkan model implikasi filsafat pendidikan
Islam dalam praktek pendidikan di SMA sbb:
Integrasi Seluruh Mata
Pelajaran
KTSP (Silabus dan
RPP)
Pembelajaran
di dalam dan
luar kelas
Pembudayaan
Nilai-Nilai Islam
Visi, Misi
dan Program Kepala
Sekolah
Penataan Suasana
Sekolah
Suasana religius Suasana yang manusiawi Suasana yang nasionalis Suasana yang demokratis Suasana adil dan gotongroyong
Suasana yang penuh penghijauan
Suasana yang bersih dan
rapih
Suasana penuh kebersamaan
Unsur Fisik dan Non
Fisik Sekolah
Core
Value “Iman dan Takwa (Imtak)” sesuai
dengan Tujuan
Pendidikan
Nasional
Penataan
Suasana Sekitar Sekolah
(Lingkungan Keluarga dan Masyarakat)
Melibatkan:
Komite Sekolah Tokoh Masyarakat Dinas Pendidikan
Organisasi
Masyarakat (Ormas)
DUDI
Unsur Fisik dan Non Fisik Lingkungan
Keluarga dan Masyarakat
(UU No 20/2003)
Pengembangan Ekstrakurikuler berbasis nilai-nilai Islam
Rohis
Osis Pramuka Bela Diri Kesenian
dll


Berdasarkan bagan di atas dapat diketahui bahwa model implementasi kerangka filsafat pendidikan Islam di SMA berorientasi kepada proses
pembudayaan nilai-nilai Islam dengan core value yang digariskan dalam UU No
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab
II
pasal 3 sebagai berikut:
”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketaqwaan, hal tersebut mengisyaratkan bahwa core value
pembangunan karakter
moral
bangsa bersumber pada keyakinan beragama.
Artinya bahwa semua peroses pendidikan
harus bermuara pada penguatan nilai-
nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan
agama yang diyakini. Dalam tataran praktek pendidikan
di sekolah, maka faktor leadership merupakan faktor kunci yang dapat menentukan arah kebijakan dalam
proses pengejawantahan core
value
yang digariskan tersebut. Sehingga pembudayaan
nilai harus berangkat adanya
adanya political will dan poilitical action dari seorang leader yang tercermin dalam visi, misi dan program kepala sekolah.
Rancangan program kepala sekolah yang berhubungan
dengan proses
pembudayaan nilai-nilai
Islam dapat
diwujudkan dengan menggunakan empat pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan integrasi dalam seluruh mata pelajaran
Nilai-nilai islam dapat di integrasikan dalam seluruh mata pelajaran,
untuk mewujudkan hal ini tentunya diperlukan adanya pendidikan dan
pelatihan serta pendampingan secara berkesinambungan kepada para guru
tentang bagaimana caranya mengintegarsikan
nilai-nilai Islam ke dalam rancangan pembelajaran (Silabus dan RPP) sehingga nilai-nilai Islam bukan
sekedar di integrasikan secara indirect integration melainkan secara tersurat (direct integration) terencanakan dalam seluruh komponen pembelajaran (tujuan, materi, metode, media, sumber dan evaluasi) pada semua mata
pelajaran. Forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dapat memfasilitasi proses pendidikan, pelatihan dan pendampingan kepada guru agar dapat menjalankan tugas-tugasnya secara profesional.
Berbagai pendekatan pendidikan nilai perlu dikuasai oleh para guru agar memiliki kompetensi yang
mumpuni dalam merumuskan rancangan pembelajaran berbasis pendidikan
nilai. Rancangan pembelajaran hendaknya
tidak sebatas merencanakan
aktifitas pembelajaran di dalam kelas, melainkan juga di luar kelas, karena bedasarkan
hasil penelitian pada objek penelitian diketahui bahwa pelanggaran nilai-nilai agama lebih banyak dilakukan siswa di luar kelas.
2. Pendekatan penataan suasana sekolah
Suasana sekolah hendaknya berorientasi kepada pembentukan
suasana religius, suasana yang manusiawi,
suasana yang
nasionalis,
suasana yang demokratis, suasana adil dan gotong royong, suasana yang penuh
penghijauan, suasana
yang bersih dan
rapih,
suasana yang penuh
dengan
pesan-pesan
illahiyah dan suasana penuh kebersamaan. Implikasi penataan suasana sekolah tersebut dapat diwujudkan
melalui penataan unsur fisik dan non fisik yang ada di dalam lingkungan sekolah.
3. Pendekatan penataan suasana sekitar sekolah
Penataan suasana bukan hanya penting bagi keadaan lingkungan sekolah,
melainkan juga suasana lingkungan di luar sekolah. Keadaan lingkungan di luar sekolah berdampak terhadap kenakalan anak di dalam
sekolah dan sebaliknya lingkungan
sekolah yang kondusif bisa memberikan
dampak budaya bagi lingkungan sekitar sekolah. Kebiasaan yang terbentuk akibat pergaulan siswa di luar sekolah memberikan dampak kepada proses interaksi siswa ketika di dalam sekolah. Jika lingkungan
pergaulan di luar sekolah
memberikan warna yang positif bagi sikap dan prilaku siswa, maka proses interakasi sosial yang dilakukan
siswa di dalam sekolah akan positif pula, demikian juga sebaliknya. Lingkungan sekitar sekolah meliputi
lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, hal yang perlu di tata adalah unsur
fisik dan unsur
non fisik sehingga mendukung proses pembudayaan nilai-nilai Islam di dalam lingkungan sekolah.
4. Pendekatan pengembangan program ekstrakurikuler
Agar pembudayaan nilai-nilai Islam melalui pengembangan
program ekstrakurikuler
dapat berjalan sesuai dengan visi, misi, dan program sekolah, maka Kepala Sekolah perlu merumuskan kerangka acuan kerja pembinaan bagi masing-masing ekskul
yang dikembangkan.
Adapun kerangka acuan
kerja pembinaan tersebut minimal berisikan tentang
Standar Operasional Prosedur
(SOP) pembinaan, nilai-nilai dasar Islam yang wajib dikembangkan
dan
kurikulum pembinaan yang bebasis kepada nilai-nilai Islam, sehingga
arah pembinaan dan pengembangan setiap ekskul mengarah kepada visi, misi,
program dan core value yang menjadi way of life dan budaya sekolah.
H. Penutup.
Islam dengan sumber ajarannya al Qur’an dan al Hadist yang diperkaya oleh penafsiran para ulama ternyata telah menunjukkan
dengan jelas terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam bidang pendidikan.
Oleh karenanya, secara epistimologis,
Islam memilki konsep yang khas tentang
pendidikan,
yakni pendidikan Islam.
Demikian pula pemikiran filsafat Islam yang diwariskan
para filosof Muslim sangat kaya dengan bahan-bahan yang
dijadikan rujukan guna membangun filsafat pendidikan
Islam. Konsep ini segera akan memberikan warna tersendiri terhadap dunia pendidikan jika diterapkan secara konsisten.
Namun demikian, adanya pandangan
tersebut bukan berarti Islam bersikap ekslusif. Rumusan, ide dan gagasan mengenai kependidikan yang dari luar
dapat saja diterima oleh
Islam apabila mengandung persamaan dalam
hal prinsip, atau paling kurang tidak bertentangan.
Tugas kita selanjutnya adalah melanjutkan penggalian
secara intensif terhadap apa yang telah dilakukan oleh para ahli, karena apa yang dirumuskan para ahli tidak lebih sebagai bahan perbandingan,
zaman sekarang berbeda dengan zaman mereka dahulu. Karena itu upaya penggalian
masalah
kependidikan ini tidak boleh terhenti, jika kita sepakat bahwa pendidikan Islam ingin eksis ditengah-tengah percaturan global. Kedudukan
satuan
pendidikan seperti SMA sangat strategis, karena dalam tataran operasional,
sekolah merupakan instrument terpenting
sebagai pelaksana pemikiran dan
kebijakan strategis normative yang langsung bersentuhan
dengan objek pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, M.A., Pengantar Filsafat Islam,
Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta,
1990.
Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan,
Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Titus, Smith, Nolan., Persoalan-persoalan Filsafat, Cet. I, Bulan
Bintang, Jakarta,
1984.
Ali Saifullah
H.A.,
Drs., Antara
Filsafat dan Pendidikan, Usaha
Nasional, Surabaya, 1983.
Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta,
1995.
Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu,
Jakarta, 1997
0 Response to "PENGEMBANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DI SMA DAN IMPILIKASINYA"
Post a Comment