Sejarah Hukum Islam Pada Masa kemerdekaan (1945)
Sunday, July 21, 2013
Add Comment
Hukum Islam
Pada Masa Kemerdekaan (1945)
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan
lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling
penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai
negara sekuler dan bukan pula negara Islam. Dengan
rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan
adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para
pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal
ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada
banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah
kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia
Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir
angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima
satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal
tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan
itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary
bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya-
telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI. Pada akhirnya, di
periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan,
kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu
‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan
kepada cita-cita umat Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi
Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah
proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950).
Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali
menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil
menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan
negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia.
Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak
lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia
Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD
1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan
satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS sendiri
jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung
aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak
menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati
oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh
faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan
Deklarasi HAM versi PBB.
Namun
saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI,
negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat
Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi
Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut.
Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian,
Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa
dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik
dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34
yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan
yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk
menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan
keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD
Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam
wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal
102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil
umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat
Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum
nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional.
Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan
pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada
bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat
tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi
faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan
kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh
daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan. Hal lain yang patut dicatat di
sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan”
Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang
dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah
memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari
sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia
melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia.
Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi
Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah
kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada
tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat
25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan
oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam
mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar
apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.
0 Response to "Sejarah Hukum Islam Pada Masa kemerdekaan (1945)"
Post a Comment