SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA
Sunday, July 21, 2013
Add Comment
Islam pada
Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan
nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di
Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi
dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini
sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC
sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping
menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum
Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum
Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat
menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan
penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan,
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan
oleh pihak VOC, yaitu :
1. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada
tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para
pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan
Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun
1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di
berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu
dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi
yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga
memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam. Pengakuan terhadap hukum Islam ini
terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan
Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles
menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali
memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak
Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh
Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :
Pada
pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang
Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah
kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Atas dasar nota disampaikan
oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan
penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal
persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan
asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian
menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck
Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi
untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa
kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat
setempat). Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2
Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement),
yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama
Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain
oleh sesuatu ordonasi. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga
menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun
1942.
B. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah
Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer
Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang
mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala
kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda.
Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan
hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap
melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya
adalah:
- Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai
agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
- Mendirikan
Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia
sendiri.
-
Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
- Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada
bulan oktober 1943.
- Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan
yang mendampingi berdirinya PETA.
- Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan
kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo,
pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu.
Namun upaya ini
kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya
hingga Indonesia merdeka. Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti
bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun
bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi
adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah
keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda
telah memperlemah posisi Islam.
0 Response to "SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA"
Post a Comment