Sistem Politik dan Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa
Thursday, July 18, 2013
Add Comment
Sistem Politik dan Kerajaan-Kerajaan Islam
di Jawa
A.
Pendahuluan
Sejak dahulu, Pulau Jawa sudah menjadi pulau yang maju dan paling berperan
dalam membentuk negara Indonesia. Dengan bukti bahwa di pulau jawa sudah
berdiri kerajaan-kerajaan khususnya kerajaan islam. Memang, disamping pulau
Jawa merupakan pusat pemerintahan, hingga sekarang pulau Jawa juga merupakan
pulau yang paling maju dalam hal ilmu dan teknologi maupun dalam hal ekonomi.
Untuk itu, baiknya kita mempelajari Sejarah beserta
realisasi pelaksanaan corak dan sistem politik kerajaan-kerajaan islam yang ada
di tanah Jawa yang telah membawa peran yang sangat besar dalam
pemerintahan.
Jawa sekarang, terbagi
menjadi tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
B.
Rumusan Masalah
Sejarah beserta realisasi pelaksanaan corak dan sistem politik
kerajaan-kerajaan islam yang ada di tanah Jawa.
C.
Pembahasan
Di seluruh pulau Jawa, terdapat setidaknya lima kerajaan islam yang berdiri
dan berperan penting dalam penyebaran agama islam, yaitu:
Kesultanan Demak bintara atau yang lebih
dikenal Kerajaan Demak adalah kerajaan islam di Jawa yang didirikan pada tahun 1478
M oleh Raden Patah (1478 – 1518 M). Kerajaan ini memiliki wilayah yang luas dan membentang di pesisir utara
Jawa, yang mana dulunya merupakan Keadipatian atau Kadipaten
Vazal dari Kerajaan Majapahit.
Dengan waktu yang cukup singkat, sebagian besar wilayah Jawa sudah dikuasai,
Kerajaan Demak melakukan ekspansi ke luar Jawa dengan menyerang Malaka yang sudah jatuh
ketangan Portugis. Pemimpin serangan itu ialah Pati Unus (1518-1521 M) yang dikenal dengan Pangeran
Sabrang Lor. Serangan itu mengalami kegagalan, selain jarak serangan yang terlalu jauh, Demak kurang memiliki persenjataan yang cukup. Meskipun gagal, kerajaan Demak telah membuktikan bahwa
kerajaan Nusantara mampu melawan kekuatan bangsa Barat. Kerajaan Demak mengalami kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546 M).
Pada masa pemerintahannya, Demak berusaha membendung masuknya Portugis ke Jawa.
Setelah Sultan Trenggono wafat, Demak mengalami kemunduran yang disebabkan
adanya perebutan kekuasaan dan kelemahan sistem pemerintahan. Kerajaan Demak
memiliki peranan besar sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa. Demak membangun masjid yang menggunakan perpaduan
antara kebudayaan Jawa dan Islam, yatu Masjid Agung Demak.
Kerajaan Pajang adalah
kerajaan yang berdiri setelah Kerajaan Demak yang didirikan oleh Jaka Tingkir.
Pajang sebelumnya merupakan daerah kadipaten di bawah Kesultanan Demak.
Jaka Tingkir adalah anak Ki Ageng Pengging yang dihukum mati oleh Sunan Kudus karena mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah ayahnya mangkat, Joko Tingkir kemudian dibesarkan oleh pamannya, Ki Ageng Tingkir. Setelah dewasa, ia diperintahkan pamannya untuk pergi ke Kutaraja Demak dan mengabdi ke Sultan yang berkuasa, yaitu Sultan Trenggono.
Dikisahkan bahwa pada saat ia datang ke kutaraja, sedang diadakan sayembara melawan banteng ketaton (banteng mengamuk). Joko Tingkir yang mengikuti sayembara tersebut dapat melumpuhkan banteng tersebut dengan satu kali pukulan saja. Karena kesaktiannya, Jaka Tingkir diterima mengabdi dan akhirnya bahkan menjadi menantu Sultan Trenggono.
Setelah Sultan Trenggono wafat, anaknya Sunan Prawoto diangkat menjadi penggantinya. Akan tetapi ia kemudian meninggal terbunuh dalam intrik perebutan kekuasaan dengan keponakannya sendiri yaitu Arya Penangsang, adipati Jipang yang juga adalah murid Sunan Kudus. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa Demak, dan selanjutnya terjadilah perlawanan terhadap Arya Penangsang yang dipimpin oleh kadipaten Pajang. Waktu itu, Joko Tingkir telah menjadi adipati Pajang.
Dengan bantuan dari kadipaten-kadipaten lainnya yang juga tidak menyukai Arya Penangsang, Joko Tinggkir akhirnya berhasil membinasakan Arya Penangsang. Joko Tingkir kemudian memindahkan istana Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan Pajang. Joko Tingkir sebagai raja bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582), kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Salah seorang anak Sunan Prawoto yaitu Arya Pangiri, diangkatnya menjadi adipati Demak. Sedangkan seseorang yang paling berjasa membantunya yaitu Ki Ageng Pemanahan (putra dari Ki Ageng Ngenis, dan cucu Ki Ageng Selo), diberinya imbalan daerah Mataram (sekitar Kota Gede, Yogyakarta) pada tahun 1558 untuk ditinggali.
Pemberian tanah di daerah Mataram oleh Joko Tingkir kepada Ki Ageng Pemanahan, seakan menjadi bumerang karena Mataram akan menghabisi kekuatan Pajang. Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian juga dikenal dengan panggilan Ki Gede Mataram, dalam waktu singkat mampu membuat Mataram beserta rakyatnya maju. Namun sebelum dapat ikut menikmati hasil, di tahun 1575 Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia.
Usahanya kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu Sutawijaya, yang merupakan ahli peperangan dan nantinya lebih dikenal dengan nama Senapati ing Alaga (panglima perang) atau Panembahan Senopati.
Tujuh tahun kemudian (1582) Joko Tingkir meninggal, dan Pangeran Benowo anak laki-laki tertuanya yang seharusnya menggantikannya, ternyata disingkirkan Arya Pangiri dan akhirnya hanya dijadikan adipati di Jipang. Pada tahun 1587, Sutawijaya (putra Ki Ageng Pemanahan), penguasa Mataram, menyatakan tidak loyal lagi pada Pajang.
Arya Pangiri diserang oleh Sutawijaya yang dibantu Pangeran Benowo. Ia merebut Pajang dan Arya Pangiri berhasil dikalahkan. Sutawijaya lalu memindahkan Karaton Pajang ke Mataram dan ia menjadi raja bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Pajang kemudian menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Sutawijaya.
Jaka Tingkir adalah anak Ki Ageng Pengging yang dihukum mati oleh Sunan Kudus karena mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah ayahnya mangkat, Joko Tingkir kemudian dibesarkan oleh pamannya, Ki Ageng Tingkir. Setelah dewasa, ia diperintahkan pamannya untuk pergi ke Kutaraja Demak dan mengabdi ke Sultan yang berkuasa, yaitu Sultan Trenggono.
Dikisahkan bahwa pada saat ia datang ke kutaraja, sedang diadakan sayembara melawan banteng ketaton (banteng mengamuk). Joko Tingkir yang mengikuti sayembara tersebut dapat melumpuhkan banteng tersebut dengan satu kali pukulan saja. Karena kesaktiannya, Jaka Tingkir diterima mengabdi dan akhirnya bahkan menjadi menantu Sultan Trenggono.
Setelah Sultan Trenggono wafat, anaknya Sunan Prawoto diangkat menjadi penggantinya. Akan tetapi ia kemudian meninggal terbunuh dalam intrik perebutan kekuasaan dengan keponakannya sendiri yaitu Arya Penangsang, adipati Jipang yang juga adalah murid Sunan Kudus. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa Demak, dan selanjutnya terjadilah perlawanan terhadap Arya Penangsang yang dipimpin oleh kadipaten Pajang. Waktu itu, Joko Tingkir telah menjadi adipati Pajang.
Dengan bantuan dari kadipaten-kadipaten lainnya yang juga tidak menyukai Arya Penangsang, Joko Tinggkir akhirnya berhasil membinasakan Arya Penangsang. Joko Tingkir kemudian memindahkan istana Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan Pajang. Joko Tingkir sebagai raja bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582), kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Salah seorang anak Sunan Prawoto yaitu Arya Pangiri, diangkatnya menjadi adipati Demak. Sedangkan seseorang yang paling berjasa membantunya yaitu Ki Ageng Pemanahan (putra dari Ki Ageng Ngenis, dan cucu Ki Ageng Selo), diberinya imbalan daerah Mataram (sekitar Kota Gede, Yogyakarta) pada tahun 1558 untuk ditinggali.
Pemberian tanah di daerah Mataram oleh Joko Tingkir kepada Ki Ageng Pemanahan, seakan menjadi bumerang karena Mataram akan menghabisi kekuatan Pajang. Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian juga dikenal dengan panggilan Ki Gede Mataram, dalam waktu singkat mampu membuat Mataram beserta rakyatnya maju. Namun sebelum dapat ikut menikmati hasil, di tahun 1575 Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia.
Usahanya kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu Sutawijaya, yang merupakan ahli peperangan dan nantinya lebih dikenal dengan nama Senapati ing Alaga (panglima perang) atau Panembahan Senopati.
Tujuh tahun kemudian (1582) Joko Tingkir meninggal, dan Pangeran Benowo anak laki-laki tertuanya yang seharusnya menggantikannya, ternyata disingkirkan Arya Pangiri dan akhirnya hanya dijadikan adipati di Jipang. Pada tahun 1587, Sutawijaya (putra Ki Ageng Pemanahan), penguasa Mataram, menyatakan tidak loyal lagi pada Pajang.
Arya Pangiri diserang oleh Sutawijaya yang dibantu Pangeran Benowo. Ia merebut Pajang dan Arya Pangiri berhasil dikalahkan. Sutawijaya lalu memindahkan Karaton Pajang ke Mataram dan ia menjadi raja bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Pajang kemudian menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Sutawijaya.
Pendiri Kerajaan Mataram ialah Kyai Ageng
Pamanahan. Sepeninggal Kyai Ageng Pamanahan pada tahun 1575 M, tahta kerajaan digantikan oleh anaknya bernama Sutawijaya.
Pada masa pemerintahan Sutawijaya, wilayah kekuasaan Mataram meluas meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Cirebon dan sebagian Priangan.
Setelah Sutawijaya, raja berikutnya ialah Mas Jolang (1511-1613 M). Pada masa pemerintahan Mas Jolang, Mataram Islam tidak
mampu memperluas wilayahnya karena disibukkan dengan usaha mengatasi para
pemberontak.
Pengganti Mas Jolang ialah Raden Rangsang
(1613-1645 M) yang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo. Cita-cita
perjuangan kedua pendahulunya tetap dilanjutkan sejak tahun 1614 M, Sultan
Agung mulai bergerak menaklukkan kembali daerah di pesisir utara Jawa.
Balatentara Mataram berhasil menaklukkan Lumajang, Pasuruan, Kediri, Tuban,
Pajang, Lasem, Madura, Surabaya dan Sukadana (Kalimantan). Sedangkan di daerah
pedalaman yang tidak tunduk kepada kerajaan Mataram, yaitu Madura, Ponorogo,
Blora dan Bojonegoro. Setelah Surabaya dapat ditundukkan, hampir seluruh Jawa telah dikuasai. Hanya Cirebon, Banten
dan Batavia yang belum dapat dikuasai. Pada tahun 1628 M dan 1629 M Mataram
menyerang Batavia, namun tidak berhasil.
Pada awalnya, Cirebon merupakan bagian dari kerajaan Pajajaran.
Pada abad ke-16, Cirebon berkembang menjadi pelabuhan yang ramai dan menjadi pusat perdagangan di pantai Jawa Barat bagian utara. Setelah jumlah
pedagang semakin banyak dan proses Islamisasi berkembang terus, Sunan Gunung
Jati segera membentuk pemerintahan kerajaan Islam Cirebon.
Cirebon dan Demak memiliki hubungan dekat. Secara ekonomi, pelabuhan Banten
dijadikan sebagai pelabuhan bagi perkembangan ekonomi Demak di wilayah Cirebon,
sebelum pelabuhan ini berdiri sendiri sebagai kerajaan. Adapun secara politik
dan budaya, hubungannya terjadi melalui perkawinan. Pada tahun 1524 M, Sunan
Gunung Jati menikahi saudara perempuan raja Demak. Dari perkawinan tersebut,
Sunan Gunung Jati memperoleh anak bernama Hasanuddin yang kemudian dinobatkan
sebagai Sultan Banten, setelah Demak merebut Banten dari penguasa Pajajaran.
Adapun Sunan Gunung Jati, setelah meletakkan dasar-dasar pemerintahan
kesultanan Banten segera membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1552 M.
Masih ada perbedaan pendapat mengenai apakah Sunan Gunung Jati dengan
Fatahillah sama ataukah berbeda. Selama ini terdapat dua versi mengenai tokoh
tersebut.
(1) Versi pertama
dikemukakan oleh sejarawan Hoesien Djajadiningrat (1913) yang merujuk pada
sumber-sumber yang dikemukakan oleh catatan sejarah bangsa Portugis dan
sumber-sumber lainnya mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati ialah sama dengan
Fatahillah, Falatehan, Tagaril, atau Syarif Hidayatullah.
(2) Versi kedua
dikemukakan oleh sejarawan Atja (1972) dan Edi S. Ekadjati (2000) mengatakan
bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati ialah dua orang yang berbeda, walaupun
keduanya ialah sama-sama tokoh penyebar Islam di Cirebon. Versi kedua ini
didukung oleh Babad Cirebon dan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Hasanuddin sebagai anak dari Sunan Gunung Jati
dianggap sebagai raja pertama Kerajaan Banten yang pertama. Sedangkan pendiri kerajaan Banten ialah Sunan Gunung Jati.
Sama seperti ayahnya, Hasanuddin memiliki hubungan keluarga
dengan Raja Demak (Sultan Trenggono) melalui perkawinan. Dari perkawinan
tersebut, Hasanuddin memperoleh dua orang anak, yaitu Maulana Yusuf dan Pangeran
Jepara. Anak kedua diangkat menjadi penguasa Jepara, sedangkan Maulana
Yusuf sebagai anak pertama diangkat menjadi Raja Banten kedua yang menggantikannya.
Perebutan tahta di Banten terjadi
sepeninggal Maulana Yusuf, yaitu antara Maulana Muhammad (anak Maulana
Yusuf) dengan Pangeran Jepara. Namun perebutan kekuasaan ini dapat digagalkan oleh pasukan Banten sendiri.
Banten mencapai masa kejayaannya dibawah pimpinan Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1682 M). Selama masa pemerintahannya, Sultan Ageng
terlibat pertempuran melawan VOC. Kegigihan Sultan Ageng ditentang oleh Sultan
Haji. Kesempatan ini dimanfaatkan VOC untuk menggunakan politik adu domba
sehingga tidak lama kemudian Sultan Ageng dapat ditangkap Belanda tahun 1683 M
dan dipenjara di Batavia sampai akhirnya wafat tahun 1692 M. Akhirnya, Sultan
Haji dipaksa untuk menandatangani perjanjian dengan VOC yang dengan perjanjian itu, Belanda kemudian bisa memonopoli semua bentuk perdagangan di Banten.
D.
Kesimpulan
Dari isi dan penjelasan makalah diatas, dapat
disimpulkan bahwa penyebaran agama islam pada masa kerajaan di Jawa baik
penyebaran di pulau Jawa sendiri maupun ke luar pulau Jawa adalah dengan
peperangan. Sehingga tidak dipungkiri bahwa Sejak zaman kerajaan (dalam hal ini
kerajaan islam), sistem perpolitikanpun sudah digunakan, khususnya politik demi
memperluas tersebarnya agama islam.
0 Response to "Sistem Politik dan Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa"
Post a Comment