IMPLIKASI FILSAFAT ILMU DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Friday, August 16, 2013
Add Comment
IMPLIKASI FILSAFAT ILMU DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Filsafat ilmu pendidikan Islam
Untuk memahami Sub bahasan
Filsafat ilmu pendidikan Islam ini dapat didekati dari permasalahan pokok
tentang apa itu filsafat, filsafat ilmu, dan pendidikan Islam. Telah diketahui
bahwa filsafat merupakan disiplin dan sistem pemikiran tentang enam jenis
persoalan berhubungan dengan “(1) hal ada, (2) pengetahuan, (3)metode, (4)
penyimpulan, (5) moralitas, dan (6) keindahan. Keenam jenis persoalan ini
merupakan materi yang dipelajari, dan kemudian menjadi bagian utama studi
filsafat yang terkenal sebagai metafisika, epistemologi, metodologi, logika,
etika dan estetika”.
Sebagai suatu sistem pemikiran
menurut M. Dimyathi maka kegiatan penalaran filosofis dapat dikatagorikan
sebagai kegiatan analisis, pemahaman, diskripsi, penilaian, penafsiran, dan
perekaan. Kegiatan penalaran tersebut bertujuan untuk mencapai kejelasan,
kecerahan, keterangan, pembenaran, pengertian dan penyatupaduan. Secara
keseluruhan filsafat mempelajari keenam jenis persoalan tersebut
berdasarkan kegiatan penalaran reflektif dan hasil refleksinya terwujud
dalam pengetahuan filsafati.
Pengetahuan filsafati merupakan
induk dari Ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge) yang mana
keduanya merupakan potensi esensial pada manusia dihasilakan dari proses
berpikir. Berpikir (na>tiq) adalah sebagai karakter khusus yang
memisahkan manusia dari hewan dan makhluk lainya. Oleh karena itu keunggulan
manusia dari spesies-spesies lainnya karena ilmu dan pengetahuannya.
Dalam teologi Islam diyakini
bahwa manusia dengan potensi na>tiq memiliki kemampuan
filosofis dan ilmiah. Potensi inilah yang secara spesifik melahirkan daya
Filsafat Ilmu. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat Ilmu
merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensinya bergantung pada
hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara filsafat dan ilmu.
Dengan demikian, Filsafat Ilmu
merupakan satu-satunya medium resmi untuk memperbincangkan ilmu. Dalam
kaitannya dengan ilmu, filsafat tidak lebih dari model pandang atau perspektif
filosofis terhadap ilmu. Karena itu, tidak menawarkan materi-materi ilmiyah,
tetapi sekedar tinjauan filsofis mengenai pengetahuan yang dicapai oleh suatu ilmu.
Bidang Filsafat Ilmu meliputi epistimologi, aksiologi, dan ontologi. Dalam
ranah pendidikan Islam, ketiga bidang filsafat ilmu ini perlu dijadikan
landasan filosofis, terutama untuk kepentingan pengokohan dan pengembangan
pendidikan Islam itu sendiri.
Manusia
dengan potensi natiqnya mendudukkan sebagai subyek pemikir keilmuan sekaligus
menggambarkan sebagai individu yang secara epistemologi memiliki kerangka
berfikir keilmuan, dan memiliki dunia kemanusiaan obyektif yang berlapis.
Lapisan pemikiran obyektif tersebut menurut Dimyati terwujud dalam dunia human,
sebagai salah satu wujud ontologis manusia. Secara ontologis dunia manusia
meliputi keberadaan secara fisik, biotis, psikis, dan human. Pada
taraf human ini dengan tingkatan-tingakatan (1) keimanan, yang
mengitegrasikan bakat kemanusiaan, (b) pribadi, sebagai pengintegrasi segala
aspek jiwa manusia yang internasional, (c) keakuan, suatu lapis luar kejiwaan
yang dinamis, (d) dunia religius, (e) dunia kebudayaan sebagai
ekpresi etis, estetis dan epistemis.
Obyek
filsafat tersebut -dalam filsafat pendidikan Islam sebagaimana filsafat pada
umumnya- menerapkan metode kefilsafatan yang lazim dan terbuka. Hanya obyek
masing-masing yang membedakan antara berbagai cabang dan jenis filsafat.
Demikian pula hubungan antara filsafat pendidikan dengan filsafat pendidikan
Islam. Jenis pertama menempatkan segala yang ada sebagai obyek, sementara yang
kedua mengkhususkan pendidikan dan yang terakhir lebih khusus lagi pendidikan
Islam. Sedangkan filsafat ilmu pendidikan Islam berarti penerapan metode
filsafat ilmu meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi terhadap keilmuan
pendidikan Islam.
Ahmad
Tafsir memberi penjelasan tentang perbedaan antara filsafat dan ilmu (sains),
dan filsafat pendidikan Islam. Menurutnya filsafat ialah jenis
pengetahuan manusia yang logis saja, tentang obyek-obyek yang abstrak. Ilmu
ialah jenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan
riset terhadap obyek-obyek empiris; benar tidaknya suatu teori ilmu ditentukan
oleh logis-tidaknya dan ada-tidaknya bukti empiris. Adapun filsafat pendidikan
Islam adalah kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya dapat dipertanggung
jawabkan secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris.
Mengaitkan
Islam dengan katagori keilmuan, seperti dalam konsep pendidikan, menurut
Mastuhu umumnya berhadapan dengan pengertian Islam sebagai sesuatu yang final.
Dalam katagori ini, Islam dapat dilihat sebagai kekuatan iman dan taqwa,
sesuatu yang sudah final. Sedangkan katagori ilmu memiliki ciri khas berupa
perubahan, perkembangan dan tidak mengenal kebenaran absolut. Semua
kebenarannya bersifat relatif.
Baik
Filsafat ilmu, filsafat pendidikan dan khususnya lagi filsafat pendidikan Islam
sangat penting untuk dikaji, karena menurut Al-Shayba>ni> setidaknya
filsafat pendidikan memiliki beberapa kegunaan. Diantara manfaat itu ialah (1)
dapat menolong perangcang-perangcang pendidikan dan orang-orang yang
melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap
proses pendidikan, (2) dapat membentuk asas yang dapat ditentukan pandangan
pengkajian yang umum dan yang khusus, (3) sebagai asas terbaik untuk penilaian
pendidikan dalam arti yang menyeluruh, (4) sandaran intelektual yang digunakan
untuk membela tindakan pendidikan, (5) memberi corak dan pribadi khas dan
istemewa sesuai dengan prinsip dan nilai agama Islam.
B. Perspektif Ontologi Pendidikan Islam.
Masalah-masalah
pendidikan Islam yang menjadi perhatian ontologi -menurut Muhaimin- adalah
bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan
dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini berkisar pada: apa saja potensi yang
dimiliki manusia? Dalam Al-Qur’a>n dan Al-H}adi>th terdapat istilah fit}rah,samakah
potensi dengan fit}rah tersebut? Potensi dan atau fit}rah apa
dan dimana yang perlu mendapat prioritas pengembangan dalam pendidikan Islam?
Apakah potensi dan atau fit}rah itu merupakan pembawaan
(faktor dasar) yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah ia dapat berkembang
melalui lingkungan atau faktor ajar ?
Lebih luas lagi apa hakekat
budaya yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Ataukah
hanya ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujut dalam realitas sejarah umat
Islam yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis
yang perlu mendapat penegasan.
C. Perspektif Epistemologi Pendidikan Islam
Analisis epistemologis tentang
pendidikan Islam terkait dengan landasan dan metode pendidikan Islam. Kegiatan
pendidikan tertuju pada manusia, dan oleh karenaya menyentuh filsafat tentang
manusia. Kegiatan pendidikan adalah kegiatan mengubah manusia
sehingga mengembangkan hakikat kemanusiaan. Kegiatan pendidikan dilakukan
terhadap manusia dan oleh manusia, yang bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan,
dan hal ini dapat terjadi jika manusia memang “animal educandum, educabile,
dan educans”.
Epistemologis
bahwa manusia adalah animal educandum, educabile dan educans tersebut
merupakan hasil analisis Langeveld, seorang Paedagog Belanda. Analisis
fenomenologis tentang manusia sebagai sasaran tindak mendidik ini menegakkan
paedagogik (ilmu pendidikan) sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut
dipertimbangkan. Paedagogik sebagai ilmu pengetahuan melukiskan bahan
pengetahuan pendidikan yang bermanfaat untuk melakukan pengajaran
ilmu pengetahuan di sekolah.
Analisis
epistemologis dan metode fenomenologi tentang kegiatan pendidikan –menurut
Dimyati- telah melahirkan paedagogik sebagai ilmu yang otonom. Sedangkan
analisis epistemologi dengan pragmatismenya melahirkan philosophy of
education sebagai cabang filsafat khusus. Secara analisis pragmatis,
kegiatan pendidikan dipandang sebagai bagian integral kebudayaan; dalam hal ini
kegiatan pendidikan dipandang sebagai penerapan pandangan filsafat
manusia terhadap anak manusia.[8] Implikasinya,
dapat diilustrasikan jika manusia dipandang sebagai makhluk rasional, maka
kegiatan pendidikan terhadap manusia adalah membuat manusia menjadi makhluk
yang mampu menggunakan dan mengembangkan akalnya untuk memecahkan
masalah-masalah kebudayaan manusia.
Jelaslah bahwa telaah lengkap
atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan
memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogi (pendidikan anak) dan data
andragogi (pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein)
dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak
berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah
Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai
yang normatif tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman
atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan
jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafat.
Sebaliknya ilmu pendidikan
khususnya pedagogik adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep pendidikan. Oleh
sebab itu setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada
keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro
dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu
pedagogik (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogik praktis dan andragogi
(dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas
menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber
dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafat
yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya dan
sebagainya.
Dalam hal epistemologi
-menurut Muhaimin- pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan adalah menyangkut hal-hal
berikut: untuk mengembangkan potensi dasar manusia serta mewariskan budaya dan
interaksi antara potensi dan budaya tersebut, apa saja isi kurikulum pendidikan
Islam yang perlu didikkan? Dengan menggunakan metode apa pendidikan Islam itu
dapat dijalankan? Siapa yang berhak mendidik dan didik dalam pendidikan Islam?
Apakah semua yang ada di alam semesta ini, ataukah hanya manusia saja, atau
hanya Muslim saja yang dapat mendidik dalam pendidikan Islam?.
Pertanyaan-pertanyaan diatas
mengarah pada upaya pengembangan pendidikan Islam yang secara mendasar
berkaitan dengan persoalan dasar dan sekaligus metodologis. Oleh karena itu
jika subtansi pendidikan Islam merupakan paradigma ilmu, menurut
Abdul Munir Mulkhan maka problem epistemologis dan metodologis pemikiran Islam
adalah juga merupakan problem pendidikan Islam.
Untuk
menjawab permasalahan-permasalahan epistemologis seperti dikemukakan Muhaimin
diatas, maka sangat berhubungan dengan landasan/ dasar dan metode pendidikan
dalam islam. Oleh karenanya, pembahasan berikut menjelaskan landasan dan metode
tersebut.
Yalja>n dalam nukilan Djumransyah menyatakan bahwa
asas pendidikan Islam terdiri dari Al-Qur’a>n, dan sunnah yang
diperluas dengan ijma>’, qiya>s, mas}a>lih al-Mursalah, shadh
al-Dhari>’ah, ‘urf dan istih}sa>n. [15] Hal ini sejalan dengan pendapat
Sa’i>d Isma>’i>l bahwa asas pendidikan Islam meliputi Al-Qur’a>n,
sunnah, qaul sahabat, mas}alih} al-Mursalah, urf, dan pemikiran Islam.
Adapun pembahasan tentang metode pendidikan islam,
secara umum perhatian para ulama klasik telah tertuju pada upaya tersebut. Hal
ini terbukti dengan munculnya pemikir-pemikir pendidikan. Menurut Abd
al-Ghani> ‘Abu>d mereka ini secara preodik dimulai dari
Shahnun (Wafat 240 H), Muhammad Ibn Shahnun (wafat 256 H), Al-Ajari
( 360 H), Al-Khawarizmi (377 H), Al-Qabisi (403 H), Ibn Jazzar Al-Qairawani
(395 H), Ibn Afif (420 H), Ibn Abd Al-Barr (423 H), Al-Ghazali (505 H),
Al-Zanuji (591 H), Ibn Jama’ah (733 H), Ibn Al-Hajj Al-Abdari (737 H),
Al-Maghrawi (902 H), Ibn Hajar Al-Haithami (947 H), ditambah para pemikir
kontemporer lainya seperti Burhan Al-Ddin Al-Aqsharani, Al-Qathmuni, Al-‘Amuli,
Abi Yahya Zakariya Al-Ansari, dll.
Mereka ini menurut Abu>d tergolong pemikir
pendidikan murni dari islam, termasuk Ibn Khaldun (732-808 H). Disisi lain
Abu>d menggolongkan pemikir (pendidikan) islam yang terpengaruh dengan model
filsafat Yunani, diantaranya Ibn Sina (370-428 H) dan Ibn Maskawaih (325-421
H).
Para pemikir pendidikan muslim tersebut
mewariskan khzanah pemikirannya dalam kitab-kitab pendidikan. Diantaranya yang
relevan dengan pendidikan anak; Ta’lim al-Sibyan wa ahkam al-Mu’alimin (Al-Qabisi), ayyuha
al-Walad (Al-Ghazali), adab al-Mua’alimin (Ibn
Sahnun), Ta’lim al-Muta’alim (Al-Zanuji), [19] Tahrir Al-Maqal fi adab wa ahkam
wa fawaid yahtaj ilaiha muaddib al-Athfal (Ibn Hajar Al-Haithami), Jami’
Bayan Al-‘Ilm (Ibn abd Al-Bar),[20] Siyasat
al-Shibyan wa tadbirihim (Ibn Jazzar al-Qairawani), Jami’
Jawami’ Al-Ihtishar (Al-Maghrawi), Tadhkirat al-Sami’ wa
al-Mutakallim fi adab al-Alim wa al-Muta’allim (Ibn Jama’ah).
Kitab-kitab tersebut secara umum menjelaskan bagaimana
pendidikan islam dilakukan. Sayangnya kitab-kitab tersebut banyak yang tidak
ditemukan. Adapun dalam hal metode (Tariqah)pendidikan, menurut
Ibn Taimiyah yang dinukil oleh Majid Arsan Kailani ada dua
yaitu pertama;tariqah ‘ilmiah yakni berhubungan dengan bangunan
penyampaian ilmu mencakup media pengajaran, kurikulum dan keseimbangan antara
teoritis dan praktis. Cara (Uslub) yang digunakan dengan uslub
hikmah, al-Mauidah Hasanah dan jadal al-Hasan. Kedua: tariqah
iradah yakni metode untuk mendorong beramal yaitu dengan cara memahami
Al-Qur’an, bersedekah, meninggalkan perbuatan keji, dan ibadah.
Al-Nahla>wi> menjelaskan tuju model (uslub)
pendidikan. Pertama: model pendidikan dengan materi percakapan dari qur’an dan
hadith (Al-Tarbiyah bi al-hiwar al-Qur’ani wa al-Nabawi).Kedua:
model cerita dari Qur’an dan Hadith. Ketiga: model perumpamaan (Al-Amthal). Keempat:
model memberi contoh (Qudwah). Kelima: model latihan dan pembiasaan (al-Mumarathah). Keenam:
model nasehat. Ketuju: model memotivasi dan menakuti (Targhib wa
Tarhib).
Al-Abrash i> menawarkan sepuluh metode
pengajaran (Tariqat Al-Tadris) ialah istiqra’iyah
(inductive), qiyasiyah (deductive), muhadarah (ceramah), hiwariyah (percakapan), tanqibiyah(penugasan), I’jab
(appreciation), ibtikar (creation), tadrib (drill), dirasat al-irshadiyah
(supervised study) dan ikhtibar (testing).
D. Perspektif Aksiologi Pendidikan Islam.
Dalam
bidang aksiologi, masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan
ditinjau dari kesusilaan, sangat prinsip
dalam pendidikan Islam. Hal ini terjadi karena kebaikan budi pekerti manusia
menjadi sasaran utama pendidikan Islam dan karenanya selalu dipertimbangkan
dalam perumusan tujuan pendidikan Islam. Nabi Muh}ammad sendiri diutus untuk
misi utama memperbaiki dan menyempurnakan kemuliaan dan kebaikan akhlak umat
manusia.
Disamping itu pendidikan sebagai
fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan, tidak dapat lepas dari
sistem nilai tersebut. Dalam masalah etika yang mempelajari tentang hakekat
keindahan, juga menjadi sasaran pendidikan Islam, karena keindahan merupakan
kebutuhan manusia dan melekat pada setiap ciptaan Allah. Tuhan sendiri Maha
Indah dan menyukai keindahan.
Disamping itu pendidikan Islam
sebagai fenomena kehidupan sosial, kulturan dan seni tidak dapat lepas dari
sistem nilai keindahan tersebut. Dalam mendidik ada unsur seni, terlihat dalam
pengungkapan bahasa, tutur kata dan prilaku yang baik dan indah.
Unsur seni mendidik ini
dibangun atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada aspek-aspek lahiriah,
psikologis dan rohaniah. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena
pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai fakta dan manusia sebagai
nilai. Tiap manusia memiliki nilai tertentu sehingga situasi pendidikan
memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral.
Itu
sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta empiris yang syarat nilai dan
interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti
komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi.
Untuk mencapai tingkat manusiawi itulah pada intinya pendidikan bergerak
menjadi agen pembebasan dari kebodohan untuk mewujutkan nilai peradaban
manusiawi.
0 Response to "IMPLIKASI FILSAFAT ILMU DALAM PENDIDIKAN ISLAM"
Post a Comment