SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK UNDERGROUND DI INDONESIA
Saturday, October 5, 2013
Add Comment
SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK UNDERGROUND DI
INDONESIA
Embrio kelahiran scene musik rock underground di
Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai
pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy(Jakarta),
Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel
(Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker
Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah
Aktuil sejak awal era 70- an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya
hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan
musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya.
Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut di atas
bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam
Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas,
Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat
sejarahnamanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El
Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val
Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani
lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk
pertama label ini adalah albumketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis
tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.
Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu
itu anak-anak muda sedang mengalami demam musik thrash metal. Sebuah
perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy
metal. Band- band yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus,
Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota- kota besar
di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga
Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem
tersebut. Di Jakarta sendiri komunitas metal pertama kali tampil di depan
publik pada awal tahun 1988. Komunitas anak metal (saat itu istilah underground
belum populer) ini biasa hang out di Pid Pub, sebuah pub kecil di kawasan
pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Menurut Krisna J. Sadrach, frontman
Sucker Head, selain nongkrong, anak-anak yang hang out di sana oleh Tante
Esther, owner Pid Pub, diberi kesempatan untuk bisa manggung di sana. Setiap
malam minggu biasanya selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan
kebanyakan band-band tersebut mengusung musik rock atau metal.
Band-band yang sering hang out di scene Pid Pub ini
antara lain Roxx (Metallica & Anthrax), Sucker Head (Kreator &
Sepultura), Commotion Of Resources (Exodus), Painfull Death, Rotor (Kreator),
Razzle (GN’R), Parau (DRI & MOD), Jenazah, Mortus hingga Alien Scream
(Obituary). Beberapa band diatas pada perjalanan berikutnya banyak yang
membelah diri menjadi band-band baru. Commotion Of Resources adalah cikal bakal
band gothic metal Getah, sedangkan Parau adalah embrio band death metal lawas
Alien Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull Death selanjutnya membentuk
grup industrial Sic Mynded di Amerika Serikat bersama Rudi Soedjarwo (sutradara
Ada Apa Dengan Cinta?). Rotor sendiri dibentuk pada tahun 1992 setelah cabutnya
gitaris Sucker Head, Irvan Sembiring yang merasa konsep musik Sucker Head saat
itu masih kurang ekstrem baginya.
Semangat yang dibawa para pendahulu ini memang
masih berkutat pola tradisi `sekolah lama’, bangga menjadi band cover version!
Di antara mereka semua, hanya Roxx yang beruntung bisa rekaman untuk single
pertama mereka, “Rock Bergema”. Ini terjadi karena mereka adalah salah satu
finalis Festival Rock Se-Indonesia ke-V. Mendapat kontrak rekaman dari label
adalah obsesi yang terlalu muluk saat itu. Jangankan rekaman, demo rekaman bisa
diputar di radio saja mereka sudah bahagia. Saat itu stasiun radio yang rutin
mengudarakan musik- musik rock/metal adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya dan
Radio SK. Dari beberapa radio tersebut mungkin yang paling legendaris adalah
Radio Mustang. Mereka punya program bernama Rock N’ Rhythm yangmengudara setiap
Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat
disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka
datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain medium radio, media massa yang kerap
mengulas berita- berita rock/metal pada waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid
Citra Musik dan Majalah Vista.
Selain hang out di Pid Pub tiap akhir pekan,
anak-anak metal ini sehari-harinya nongkrong di pelataran Apotik Retna yang
terletak di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang
dulu sempat nongkrong bareng (groupies?) anak-anak metal ini antara lain Ayu Azhari,
Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga Krisdayanti. Aktris Ayu
Azhari sendiri bahkan sempat dipersunting sebagai istri oleh (alm) Jodhie
Gondokusumo yang merupakan vokalis Getah dan jugamantan vokalis Rotor.
Tak seberapa jauh dari Apotik Retna, lokasi lain
yang sering dijadikan lokasi rehearsal adalah Studio One Feel yang merupakan
studio latihan paling legendaris dan bisa dibilang hampir semua band- band
rock/metal lawas ibukota pernah rutin berlatih di sini. Selain Pid Pub, venue alternatif
tempat band-band rock undergroundmanggung pada masa itu adalah Black Hole dan
restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café).
Diluar itu, pentas seni MA dan acara musik kampus sering kali pula di
“infiltrasi” oleh band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di
antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMAPangudi Luhur), Kresikars
(SMA 82), acara musik kampus UniversitasNasional (Pejaten), Universitas
Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut
Teknologi Indonesia (Serpong) hingga Universitas Jayabaya (Pulomas).
Berkonsernya dua supergrup metal internasional di
Indonesia, Sepultura (1992) dan Metallica (1993) memberi kontribusi cukup besar
bagi perkembangan band-band metal sejenis di Indonesia. Tak berapa lama setelah
Sepultura sukses “membakar” Jakarta dan Surabaya, band speed metal Roxx merilis
album debut self-titled mereka di bawahlabel Blackboard. Album kaset ini kelak
menjadi salah satu album speed metal klasik Indonesia era 90-an. Hal yang sama
dialami pula oleh Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua
hari berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album thrash
metal major labelnya yang pertama di Indonesia, Behind The 8th Ball (AIRO).
Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan honor 30 juta rupiah
hasil dua kali membuka konser Metallica, para personel Rotor (minus drummer
Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri Paman Sam untuk mengadu nasib. Sucker
Head sendiri tercatat paling telat dalam merilis album debut dibanding
bandseangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal,
AquariusMusikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album `The Head Sucker’.
Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album.
Dari sedemikian panjangnya perjalanan rock
underground di tanah air, mungkin baru di paruh pertama dekade 90-anlah mulai
banyak terbentuk scene-scene underground dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di
Jakarta sendiri konsolidasi scene metal secara masif berpusat di Blok M sekitar
awal 1995. Kala itu sebagian anak-anak metal seringterlihat nongkrong di lantai
6 game center Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba terkenal di sana.
Aktifitas mereka selain hang out adalah bertukar informasi tentang band-band
lokal daninternasional, barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan
pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement
Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah.
Pada era ini hype musik metal yang masif
digandrungi adalah subgenre yang makin ekstrem yaitu death metal, brutal death
metal, grindcore, black metal hingga gothic/doom metal. Beberapa band yang
makin mengkilap namanya di era ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak,
Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis,
Godzilla dan sebagainya. Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996 malah
tercatat sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di
Jakarta dengan judul `It’s A Proud To Vomit Him’. Album ini direkam secara
profesional di Studio Triple M, Jakarta dengan sound engineer Harry Widodo
(sebelumnya pernah menangani album Roxx, Rotor, Koil, Puppen dan PAS).
Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran fanzine
musik underground pertama di Jakarta, Brainwashed zine. Edisi pertama
Brainwashed terbit 24 halaman dengan menampilkan cover Grausig dan profil band
Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di komputer berbasis system
operasi Windows 3.1 dan lay-out cut n’ paste tradisional, Brainwashed kemudian
diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi milik saudara penulis sendiri.
Di edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band hardcore, punk
bahkan ska. Setelah terbit fotokopian hingga empat edisi, di tahun 1997 Brainwashed
sempat dicetak ala majalah profesional dengan coverpenuh warna. Hingga tahun
1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh edisi, sebelum akhirnya di
tahun 2000 penulis menggagas format e-zine di internet (bisik*com). Media-media
serupa yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid
Noise zine, Gerilya zine, Rottrevore zine, Cosmic zine dansebagainya.
29 September 1996 menandakan dimulainya sebuah era
baru bagi perkembangan rock underground di Jakarta. Tepat pada hari itulah
digelar acara musik indie untuk pertama kalinya di Poster Café. Acara bernama
“Underground Session” ini digelar tiap dua minggu sekali pada malam hari kerja.
Café legendaris yang dimiliki rocker gaekAhmad Albar ini banyak melahirkan dan
membesarkan scene musik indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih
variatif. Lahirnya scene Brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era
1997 – 2000 sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa
Jakarta dengan Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah,Brain The Machine,
Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks,
Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside,
Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif,
Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang
`kenyang’ manggung di sana.
10 Maret 1999 adalah hari kematian scene Poster
Café untuk selama- lamanya. Pada hari itu untuk terakhir kalinya diadakan acara
musik di sana (Subnormal Revolution) yang berujung kerusuhan besar antara massa
punk dengan warga sekitar hingga berdampak hancurnya beberapa mobil dan unjuk
giginya aparat kepolisian dalam membubarkan massa. Bubarnya Poster Café diluar
dugaan malah banyak melahirkan venue- venue alternatif bagi masing-masing scene
musik indie. Café Kupu- Kupu di Bulungan sering digunakan scene musik ska,
Pondok Indah Waterpark, GM 2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk scene
Brit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng untuk gigs punk/hardcore dan
juga indie pop. Belakangan BB’s Bar yang super- sempit di Menteng sering disewa
untuk acara garage rock-new wave-mellow punk juga rock yang kini sedang hot,
seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, C’mon Lennon, Killed By
Butterfly, Sajama Cut,Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin
yang paling `netral’ dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana CafĂ© yangterletak
di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13 Januari
2002 silam, Puppen `menghabisi riwayat’ mereka dalam sebuah konser bersejarah
yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”, sebuah rentetan show akhir band
Bandung ini sebelum membubarkan diri.
Scene Punk/Hardcore/Brit/Indie Pop
Invasi musik grunge/alternative dan dirilisnya
album Kiss This dari Sex Pistols pada tahun 1992 ternyata cukup menjadi trigger
yang ampuh dalam melahirkan band-band baru yang tidak memainkan musik metal.
Misalnya saja band Pestol Aer dari komunitas Young Offender yang diawal
kiprahnya sering meng-cover lagu-lagu Sex Pistols lengkap dengan dress-up punk
dan haircut mohawknya. Uniknya, pada perjalanan selanjutnya, sekitar tahun
1994, Pestol Aer kemudian mengubah arah musik mereka menjadi band yang
mengusung genre british/indie pop ala The Stone Roses. Konon, peristiwa
historik inikemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi perkembangan
scene british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997 mereka
sempat merilis album debut bertitel `…Jang Doeloe’. Generasi awal dari scene
brit pop ini antara lain adalah band Rumahsakit, Wondergel, Planet Bumi,
Orange, Jellyfish, Jepit Rambut, Room-V,Parklife hingga Death Goes To The
Disco.
Pestol Aer memang bukan band punk pertama, ibukota
ini di tahun 1989 sempat melahirkan band punk/hardcore pionir Antiseptic yang
kerap memainkan nomor-nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI sampai Sex
Pistols. Lukman (Waiting Room/The Superglad) dan Robin (Sucker Head/Noxa)
adalah alumnus band ini juga. Selain sering manggung di Jakarta, Antiseptic
juga sempat manggung di rockfest legendaris Bandung, Hullabaloo II pada akhir
1994. Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel `Finally’ baru rilis delapan
tahun kemudian (1997) secara D.I.Y. Ada juga band alternatif seperti Ocean yang
memainkan musik ala Jane’s Addiction dan lainnya, sayangnya mereka tidak sempat
merilis rekaman.
Selain itu, di awal 1990, Jakarta juga mencetak
band punk rock The Idiots yang awalnya sering manggung meng-cover lagu-lagu The
Exploited. Nggak jauh berbeda dengan Antiseptic, baru sembilan tahun kemudian
The Idiots merilis album debut mereka yang bertitel `Living Comfort In Anarchy’
via label indie Movement Records. Komunitas-komunitas punk/hardcore juga
menjamur di Jakarta pada era 90-an tersebut. Selain komunitas Young Offender
tadi, ada pula komunitas South Sex (SS) di kawasan Radio Dalam, Subnormal di
Kelapa Gading, Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi, Locos di Blok
M hingga SID Gank di Rawamangun.
Sementara rilisan klasik dari scene punk/hardcore
Jakarta adalah album kompilasi Walk Together, Rock Together (Locos Enterprise)
yang rilis awal 1997 dan memuat singel antara lain dari band Youth Against
Fascism, Anti Septic, Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Album
kompilasi punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One, Still Proud (Movement
Records) yang berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots, Cryptical Death
hingga Out Of Control.
Bandung scene
Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik
legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya
Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini
digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin
berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya denganmembuka distro
(akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta
berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk
label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi
CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta
di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The
Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.
Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas
Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan
sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara
independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes
terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan
ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut.
Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di
Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal
Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan
tewas tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan,
kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The
Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang
dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga
akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P.
(1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday
dengan albumnya yang self-titled. Album ini kemudian dibantu promosinya oleh
Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu
sebelum rilis albumnya.
Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan
menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana,
komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang
banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten,
Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger
Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik
pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah
vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok
Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi
isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.
Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti
Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie.
Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur
Bandung dan jug lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple
berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang
umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak hanya
musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure Saturday
muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell,
Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic.
Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar.
Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.
Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock
underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga
ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung
keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di
`baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung
paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal
seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton
setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton!
Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh
para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga
saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground.
Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground
di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta
gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang
melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan
menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga
berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama
kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di
kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan menjadi
reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar liputannya
bagi band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind
To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal hingga The
S.I.G.I.T. Coba cek webzine Bandung, Death Rock Star (www* deathrockstar*tk)
untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya!
Scene Jogjakarta
Kota pelajar adalah julukan formalnya, tapi siapa
sangka kalau kota ini ternyata juga menjadi salah satu scene rock underground
terkuat di Indonesia? Well, mari kita telusuri sedikit sejarahnya. Komunitas
metal underground Jogjakarta salah satunya adalah Jogja Corpsegrinder.
Komunitas ini sempat menerbitkan fanzine metal Human Waste, majalah Megaton dan
menggelar acara metal legendaris di sana, Jogja Brebeg. Hingga kini acara
tersebut sudah terselenggara sepuluh kali! Band-band metal underground lawas
dari kota ini antara lain Death Vomit, Mortal Scream, Impurity, Brutal Corpse,
Mystis, Ruction.
Untuk scene punk/hardcore/industrial-nya yang
bangkit sekitar awal 1997 tersebutlah nama Sabotage, Something Wrong, Noise For
Violence, Black Boots, DOM 65, Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank
Soekamti. Sedangkan untuk scene indie rock/pop, beberapa nama yang patut di
highlight adalah Seek Six Sick, Bangkutaman, Strawberry’s Pop sampai The
Monophones. Selain itu, band ska paling keren yang pernah terlahir di
Indonesia, Shaggy Dog, juga berasal dari kota ini. Shaggy Dog yang kini
dikontrak EMI belakangan malah sedang asyik menggelar tur konser keliling Eropa
selama 3 bulan! Kota gudeg ini tercatat juga pernah menggelar Parkinsound,
sebuah festival musik elektronik yang pertama di Indonesia. Parkinsound #3 yang
diselenggarakan tanggal 6 Juli 2001 silam di antaranya menampilkan Garden Of
The Blind, Mock Me Not, Teknoshit, Fucktory, Melancholic Bitch hinggaMesin
Jahat.
Scene Surabaya
Scene underground rock di Surabaya bermula dengan
semakin tumbuh-berkembangnya band-band independen beraliran death
metal/grindcore sekitar pertengahan tahun 1995. Sejarah terbentuknya berawal
dari event Surabaya Expo (semacam Jakarta Fair di DKI - Red) dimana band- band
underground metal seperti, Slowdeath, Torture, Dry, Venduzor, Bushido manggung
di sebuah acara musik di event tersebut.
Setelah event itu masing-masing band tersebut
kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi yang bernama Independen.
Base camp dari organisasi yang tujuan dibentuknya sebagai wadah pemersatu serta
sarana sosialisasi informasi antar musisi/band underground metal ini waktu itu
dipusatkan di daerah Ngagel Mulyo atau tepatnya di studio milik band Retri
Beauty (band death metal dengan semua personelnya cewek, kini RIP - Red).
Anggota dari organisasi yang merupakan cikal bakal terbentuknya scene
underground metal di Surabaya ini memang sengaja dibatasi hanya sekitar 7-10
band saja.
Rencana pertama Independen waktu itu adalah
menggelar konser underground rock di Taman Remaja, namun rencana ini ternyata
gagal karena kesibukan melakukan konsolidasi di dalam scene. Setelah semakin
jelas dan mulai berkembangnya scene underground metal di Surabaya pada akhir
bulan Desember 1997 organisasi Independen resmi dibubarkan. Upaya ini dilakukan
demi memperluas jaringan agar semakin tidak tersekat-sekat atau menjadi
terkotak-kotak komunitasnya.
Pada masa-masa terakhir sebelum bubarnya organisasi
Independen, divisi record label mereka tercatat sempat merilis beberapa buah
album milik band-band death metal/grindcore Surabaya. Misalnya debut album
milik Slowdeath yang bertitel “From Mindless Enthusiasm to Sordid
Self-Destruction” (September 96), debut album Dry berjudul “Under The Veil of
Religion” (97), Brutal Torture “Carnal Abuse”, Wafat “Cemetery of Celerage”
hingga debut album milik Fear Insideyang bertitel “Mindestruction”. Tahun-tahun
berikutnya barulah underground metal di Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan
album milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah.
Sebagai ganti Independen kemudian dibentuklah
Surabaya Underground Society (S.U.S) tepat di malam tahun baru 1997 di kampus
Universitas 45, saat diselenggarakannya event AMUK I. Saat itu di Surabaya juga
telah banyak bermunculan band-band baru dengan aliran musik black metal. Salah
satu band death metal lama yaitu, Dry kemudian berpindah konsep musik seiring
dengan derasnya pengaruh musik black metal di Surabaya kala itu.
Hanya bertahan kurang lebih beberapa bulan saja,
S.U.S di tahun yang sama dilanda perpecahan di dalamnya. Band-band yang
beraliran black metal kemudian berpisah untuk membentuk sebuah wadah baru
bernama ARMY OF DARKNESS yang memiliki basis lokasi di daerah Karang Rejo.
Berbeda dengan black metal, band-band death metal selanjutnya memutuskan tidak
ikut membentuk organisasi baru. Selanjutnya di bulan September 1997 digelar
event AMUK II di IKIP Surabaya. Event ini kemudian mencatat sejarah sendiri
sebagai event paling sukses di Surabaya kala itu. 25 band death metal dan black
metal tampil sejak pagi hingga sore hari dan ditonton oleh kurang lebih 800 –
1000 orang. Arwah, band black metal asal Bekasi juga turut tampil di even
tersebut sebagai band undangan.
Scene ekstrem metal di Surabaya pada masa itu lebih
banyak didominasi oleh band-band black metal dibandingkan band death
metal/grindcore. Mereka juga lebih intens dalam menggelar event-event musik
black metal karena banyaknya jumlah band black metal yang muncul. Tercatat
kemudian event black metal yang sukses digelar di Surabaya seperti ARMY OF
DARKNESS I dan II.
Tepat tanggal 1 Juni 1997 dibentuklah komunitas
underground INFERNO 178 yang markasnya terletak di daerah Dharma Husada (Jl.
Prof. DR. Moestopo,Red). Di tempat yang agak mirip dengan rumah-toko (Ruko) ini
tercatat ada beberapa divisi usaha yaitu, distro, studio musik, indie label,
fanzine, warnet dan event organizer untuk acara-acara underground di Surabaya.
Event-event yang pernah di gelar oleh INFERNO 178 antara lain adalah, STOP THE
MADNESS, TEGANGAN TINGGI I & II hingga BLUEKHUTUQ LIVE.
Band-band underground rock yang kini bernaung di
bawah bendera INFERNO 178 antara lain, Slowdeath, The Sinners, Severe Carnage,
System Sucks, Freecell, Bluekuthuq dan sebagainya. Fanzine metal asal komunitas
INFERNO 178, Surabaya bernama POST MANGLED pertama kali terbit kala itu di
event TEGANGAN TINGGI I di kampus Unair dengan tampilnya band-band punk rock
dan metal. Acara ini tergolong kurang sukses karena pada waktu yang bersamaan
juga digelar sebuah event black metal. Sayangnya, hal ini juga diikuti dengan
mandegnya proses penggarapan POST MANGLED Zine yang tidak kunjung mengeluarkan
edisinya yang terbaru hingga kini.
Maka, untuk mengantisipasi terjadinya stagnansi
atau kesenjangan informasi di dalam scene, lahirlah kemudian GARIS KERAS
Newsletter yang terbit pertama kali bulan Februari 1999. Newsletter dengan
format fotokopian yang memiliki jumlah 4 halaman itu banyak mengulas berbagai
aktivitas musik underground metal, punk hingga HC tak hanya di Surabaya saja
tetapi lebih luas lagi. Respon positif pun menurut mereka lebih banyak datang
justeru dari luar kota Surabaya itu sendiri. Entah mengapa, menurut mereka
publik underground rock di Surabaya kurang apresiatif dan minim dukungannya
terhadap publikasi independen macam fanzine atau newsletter tersebut. Hingga
akhir hayatnya GARIS KERAS Newsletter telah menerbitkan edisinya hingga ke- 12.
Divisi indie label dari INFERNO 178 paling tidak
hingga sekitar 10 rilisan album masih tetap menggunakan nama Independen sebagai
nama label mereka. Baru memasuki tahun 2000 yang lalu label INFERNO 178
Productions resmi memproduksi album band punk tertua di Surabaya, The Sinners
yang berjudul “Ajang Kebencian”. Selanjutnya labelINFERNO 178 ini akan lebih
berkonsentrasi untuk merilis produk- produk berkategori non-metal. Sedangkan
untuk label khusus death metal/brutal death/grindcore dibentuklah kemudian
Bloody Pigs Records oleh Samir (kini gitaris TENGKORAK) dengan album kedua Slowdeath
yang bertitel “Propaganda” sebagai proyek pertamanya yang dibarengi pula dengan
menggelar konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower sekitar bulan September
2000 lalu yang dihadiri oleh 150- an penonton. Album ini sempat mencatat sold
out walau masih dalam jumlah terbatas saja. Ludes 200 keping tanpa sisa.
Scene Malang
Kota berhawa dingin yang ditempuh sekitar tiga jam
perjalanan dari Surabaya ini ternyata memiliki scene rock underground yang
“panas” sejak awal dekade 90-an. Tersebutlah nama Total Suffer Community(T.S.C)
yang menjadi motor penggerak bagi kebangkitan komunitas rock underground di
Malang sejak awal 1995. Anggota komunitas ini terdiri dari berbagai macam
musisi lintas-scene, namun dominasinya tetapsaja anak-anak metal. Konser rock underground
yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini.
Acara bertajuk Parade Musik Underground tersebut digelar di Gedung Sasana Asih
YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang
seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal),Sekarat (death
metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrialdeath metal), No Man’s
Land (punk), The Babies (punk) dan juga band-band asal Surabaya, Slowdeath
(grindcore) serta The Sinners (punk).
Beberapa band Malang lainnya yang patut di beri
kredit antara lain Keramat, Perish, Genital Giblets, Santhet dan tentunya
Rotten Corpse. Band yang terakhir disebut malah menjadi pelopor style brutal
death metal di Indonesia. Album debut mereka yangbertitel “Maggot Sickness”
saat itu menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Bali
karena komposisinya yang solid dan kualitas rekamannya yang top notch.
Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus
pendirinya, Adyth, hijrah ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah
lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di Indonesia. Namanya Mindblast zine
yangditerbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan Samack pada akhir 1995.
Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kini eksis di band
crust-grind gawat, Extreme Decay. Sementara indie label pionir yang hingga kini
masih bertahan serta tetap produktif merilis album di Malang adalah Confused
Records
Scene Bali
Berbicara scene underground di Bali kembali kita akan
menemukan komunitas metal sebagai pelopornya. Penggerak awalnya adalah
komunitas 1921 Bali Corpsegrinder di Denpasar. Ikut eksis di dalamnya antara
lain, Dede Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner dan Sabdo Moelyo. Dede adalah
editor majalah metal Megaton yang terbit diJogjakarta, Putra Pande adalah salah
satu pionir webzine metal IndonesiaCorpsegrinder (kini Anorexia Orgasm) sejak
1998, Age adalah pengusaha distro yang pertama di Bali dan Moel adalah
gitaris/vokalis band death metal etnik, Eternal Madness yang aktif menggelar
konser underground di sana. Nama 1921 sebenarnya diambil dari durasi siaran
program musik metal mingguan di Radio Cassanova, Bali yangberlangsung dari
pukul 19.00 hingga 21.00 WITA.
Awal 1996 komunitas ini pecah dan masing-masing individunya
jalan sendiri-sendiri. Moel bersama EM Enterprise pada tanggal 20 Oktober 1996
menggelar konser underground besar pertama di Bali bernama Total Uyut di GOR
Ngurah Rai, Denpasar. Band-band Bali yang tampil diantaranya Eternal Madness,
Superman Is Dead, Pokoke, Lithium, Triple Punk, Phobia, Asmodius hingga Death
Chorus. Sementara band- band luar Balinya adalah Grausig, Betrayer (Jakarta),
Jasad, Dajjal, Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan Death Vomit (Jogjakarta).
Konser ini sukses menyedot sekitar 2000 orang penonton dan hingga sekarang
menjadi festival rock underground tahunan di sana. Salah satualumni Total Uyut
yang sekarang sukses besar ke seantero nusantara adalah band punk asal Kuta,
Superman Is Dead. Mereka malah menjadi band punk pertama di Indonesia yang
dikontrak 6 album oleh Sony Music Indonesia. Band-band indie Bali masa kini
yang stand out di antaranya adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone,
Blod Shot Eyesdan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album
ke tiga mereka dalam waktu dekat.
Memasuki era 2000-an scene indie Bali semakin
menggeliat. Kesuksesan S.I.D memberi inspirasi bagi band-band Bali lainnya
untuk berusaha lebih keras lagi, toh S.I.D secara konkret sudah membuktikan
kalau band `putera daerah’ pun sanggup menaklukan kejamnya industri musik
ibukota. Untuk mendukung band-band Bali, drummer S.I.D, Jerinx dan beberapa
kawannya kemudian membuka The Maximmum Rock N’ Roll Monarchy (The Max), sebuah
pub musik yang berada di jalan Poppies, Kuta. Seringkali diadakan acara rock
reguler di tempat ini.
Indie Indonesia Era 2000-an
Bagaimana pergerakan scene musik independen
Indonesia era 2000-an? Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan
kontribusi besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi
yang terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin
luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan
dengan menawarkan style musik yang lebih beragam. Trend indie label
berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini
adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan.
Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan
idiom `indie’ dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik
non- mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasikmengenai
istilah `indie atau underground’ ini di tanah air. Sebagian orang memandang
istilah `underground’ semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak
band-band underground yang `sell-out’, entah itu dikontrak major label,
mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album
hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan
idiom indie karena lebih `elastis’ dan misalnya, lebih friendly bagi band-band
yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih
kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh
media massa nasional, jauhmeninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi.
Ditengah serunya perdebatan indie/underground,
major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label
ramai- ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh
Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established
dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi
indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin
sembari bersenang-senang lebih menjadi `panglima’ sekarang ini.
0 Response to "SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK UNDERGROUND DI INDONESIA"
Post a Comment